Oleh: Dr. KH. Muchlis M Hanafi, MA (Tim Pakar Pusat
Studi Al-Qur’an)
Umat Islam
saat ini sedang melewati masa-masa sulit dalam perjalanan sejarahnya. Selain
menghadapi berbagai tantangan globalisasi dan konspirasi musuh, di kalangan
internal umat Islam terjadi berbagai aksi yang menguatkan dugaan yang
dihembuskan oleh media internasional bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan
kekerasan dan umat Islam sebagai komunitas yang tidak toleran. Munculnya film fitna
di Belanda pada tahun 2008, dan Innosence of Muslims di Amerika Serikat
tahun 2012, yang diikuti oleh publikasi gambar kartun Nabi Muhammad oleh
majalah Charlie
Hebdo di Prancis
beberapa hari setelah itu, merupakan stereotype yang dibangun terhadap Islam
dan umat Islam sebagai bagian masyarakat dunia yang intolerance.
Kenyataan
ini tentu tidak bisa didiamkan dan kita tidak boleh berpangku tangan. Bila
pembuat film tersebut, dan juga bentuk pelecehan lainnya, terhadap sosok Nabi
Muhammad SAW, didasari atas ketidak tahuan terhadap ajaran Islam, maka sudah
menjadi kewajiban umat Islam untuk lebih meningkatkan dakwah Islam secara lebih
meluas, dan itu sudah dilakukan dan masih akan terus dilakukan. Tetapi bila itu
dilakukan dengan semangat anti Islam, maka sudah seharusnya ada kesepakatan
internasional yang melarang penodaan terhadap agama apa pun, apalagi agama
Islam yang dianut oleh sekitar 1,5 miliar warga dunia, sebab itu akan mengancam
perdamaian dunia.
Menjadi
tugas kita untuk menjelaskan kepada masyarakat dunia nilai-nilai Islam yang
benar dan ajarannya yang sangat menghormati perbedaan dan keragaman. Toleransi
adalah sebuah nilai yang sejatinya melekat sebagai ciri ajaran Islam. Di bawah
panji toleransi Islam itulah selama ratusan tahun masyarakat dunia merasakan
keamanan, kenyamanan dan kedamaian.
Bagi
sebagian orang, berbicara toleransi di saat-saat ini bukanlah waktunya, sebab
untuk menghadapi berbagai serangan dan gempuran bahasa kekerasan dan
menggunakan kekuatan adalah yang lebih tepat. Berbicara toleransi dianggap
sebagai sikap lemah dan mengibarkan bendera tanda menyerah. Padahal sebaliknya,
toleransi merupakan salah satu unsur kekuatan yang terpenting dalam sepanjang
sejarah peradaban Islam. Sikap toleran dapat mengubah lawan menjadi kawan,
seperti disebut dalam firman Allah Q.s. fushshilat 34:
“Dan
tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara
yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia
akan seperti teman yang setia”. (Q.s. fushshilat 34)
Tulisan ini
akan mengungkap sedikit tentang toleransi Islam dengan menunjuk kepada sejumlah
informasi yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, serta beberapa fakta
sejarah yang terjadi pada masa Rasulullah dan para Sahabatnya.
Makna
Toleransi
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, toleransi diartikan sebagai sifat atau sikap
menenggang (menghargai, membirakan, membolehkan) pendirian (pendapat,
pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau
bertentangan dengan pendirian sendiri. Dalam bahasa Arab modern, toleransi
disebut dengan al-tsaamuh atau al-samaahah. Berasal dari kata samaha
yang maknanya berkisar pada; berbaik hati dan member secara dermawan dan dengan
niat mulia; mudah; taat dan tunduk; kelapangan hati. Sikap keberagaman yang
baik, dalam salah satu hadits Rasulullah SAW disebut al-haniiffiyyah
al-samhah karena memberikan kemudahan dan tidak mempersulit.
Kata tasamuh
atau samaahah dan derivasinya tidak ditemukan dalam Al-Qur’an. Sedangkan
dalam hadits dapat ditemukan seperti dalam ungkapan “ismah yusmah laka”
(permudahlah, niscaya Anda akan dipermudah), “al-samaah rabaah”
(memudahkan dalam segala sesuatu akan menguntungkan pelakunya)1.
Meski tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, makna toleransi seperti dikemukakan di
atas dapat ditelusuri melaui kata kunci atau term yang terkait dengan itu
seperti al-rahmah, al-‘afw dan al-shafhu.
1. Al-Rahmah
Terambil
dari akar kata yang terdiri dari huruf ra ha dan mim yang
memiliki makna kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan. Dari kata tersebut
terbentuk dua nama Allah yang teragung; al-Rahmaan dan al-Rahim.
Kasih sayang (rahmah) jika berasal dari manusia, biasanya didahului oleh
rasa kasihan, iba atau mungkin karena ingin mendapatkan sesuatu dari Allah,
sebab rahmat Allah diturunkan kepada siapa pun, tanpa pilih kasih, apakah
dia itu kafir atau mukmin.
Kenabian
atau diutusnya Rasulullah ke muka bumi ini pada hakikatnya adalah rahmat, sebab
misinya adalah membawakan ajaran langit yang berisikan rahmat Allah kepada
manusia. Allah berfirman: “Tidaklah Aku mengutus engkau (hai Muhammad)
kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam” (Q.s. Al-Anbiyaa 107). Kehidupan
yang diserukan oleh Nabi Muhammad SAW adalah kehidupan yang penuh kasih sayang.
Perhatikan bagaimana komunitas yang diciptakan oleh beliau. Dalam Al-Qur’an
komunitas tersebut digambarkan sebagai tegas terhadap orang kafir dan kasih
sayang antar sesama (Q.s. Al-Fath 29). Kasih sayang antar mereka
digambarkan dalam sebuah sabda Rasul SAW sebagai satu tubuh yang jika salah
satu organnya sakit maka yang lainnya ikut merasakan.
2. Al-‘Afw
Kata ini
memiliki banyak makna dalam bahasa Arab, antara lain: 1) menghapuskan atau
menggugurkan seperti pada firman-Nya: wa’fu ‘anna. Al-‘afw
berarti maaf, karena memaafkan berarti menghapus luka yang ada di dalam hati;
2) banyak dan berlebihan seperti pada: hatta ‘afwa, yas ‘alunuunaka
maadzaa yunfiquun quill ‘afw. Kata al-‘afw dengan berbagai derivasinya
terulang dalam Al-Qur’an sebanyak 34 kali. Dari sekian banyak penggunaannya,
tidak ditemukan satu ayat pun yang menganjurkan agar meminta maaf, tetapi yang
ada adalah perintah memberi maaf. Perhatikan firman Allah:
“Dan
hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa
Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (Q.s. Al-Nur
22)
3. Al-Shafh
Kata ini
dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak delapan kali dalam Al-Qur’an. Pada
mulanya berarti lapang, lalu berkemabang menjadi kelapangan dada. Berjabat
tangan disebut mushaafahah karena melakukannya menjadi perlambang kelapangan
dada. Dari delapan penyebutannya, empat di antaranya didahului oleh perintah
member maaf. Perhatikan ayat Q.s. Al-Nur 22 di atas.
Menurut
Al-Ashfahani, al-shafhu (lapang dada) lebih tinggi kedudukannya dari al-‘afwa
(maaf). Jika al-‘afwa itu berarti menghapus kesalahan dalam lembaran,
maka al-shafhu berarti membuka lembaran baru. Pasti berbeda antara
lembaran kertas yang didalamnya terdapat bekas hapusan, dengan lembaran baru.
Lembaran kertas disebut shafhah, karena keluasan dan kelapangannya.
Dalam salah
satu firman-Nya, Allah menyebut kata al-shafh berdampingan dengan salaam.
“Maka
berpalinglah dari mereka dan katakanlah ‘Salam (selamat tinggal)’”. (Q.s.
Al-Zukhruf 89)
Melalui ayat
di atas Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Muhammad, sebagai jawaban atas doa
Nabi yang mengeluhkan kaumnya yang tidak beriman, “berlapang dadalah dalam
menghadapi mereka dan hindari segala sesuatu yang menyakitkan dari mereka,
serta katakan kepada mereka salam kedamaian untuk kalian”(ibnu Jarir, Tafsir
al-Thabari 25/105). Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa sikap lapang dada akan
melahirkan kedamaian, terutama bagi pelakunya, sebab telah hilang dari hatinya
perasaan dendam dan keinginan untuk membalas yang hanya akan membuang energi.
Al-Qur’an
juga mengajarkan, seorang mukmin sejati tidak perlu gusar dan marah menghadapi
cemoohan atau kata-kata yang menyakitkan dari orang yang jail. Tetapi hendaknya
samapaikan salam kedamaian kepadanya. Allah berfirman:
“Adapun
hamba-hamba tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di
bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan
kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan salam”. (Q.s. al-Furqan 63)
Ketika Nabi
Ibrahim tidak berhasil meyakinkan bapaknya tentang akidah tauhid setelah
berusaha keras dengan berdialog, ia pun memilih jalan damai dengan meninggalkan
sang bapak sambil mengatakan:
“Dia
(Ibrahim) berkata, ‘Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan
memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku”
(Q.s. Maryam 47)
Kata salaam
berarti kedamaian atau perdamaian. Salah satu nama Allah yang terbaik (al-Asmaa
al-Husnaa) adalah al-salaam. Allah adalah al-Salaam karena Dia Yang
Maha Esa itu terhindar dari segala aib, kekurangan dan kepunahan yang dialami
oleh para makhluk. Al-Salam dapat pula diartikan sebagai zat yang
memiliki dan memberi keselamatan dan kedamaian. Dengan begitu, Allah selalu
menebar keselamatan dan kedamaian kepada seluruh makhluk sehingga terhindar
dari segala bentuk bahaya dan kezaliman. Ada pendapat lain yang mengatakan al-Salaam
yang dinisbahkan kepada Allah itu berarti “yang memberi salam kepada
hamba-hamba-Nya kelak di surga”. Pendapat ini sejalan dengan Firman-Nya dalam
Q.s Yasin 58:
“Salam
sebagai ucapan dari Tuhan Yang Maha Pengasih kepada penghuni surga”
Dalam doa
yang selalu kita panjatkan, “Allahumma anta al-Salaam wa minka al-Salaam”
(Allah adalah al-Salaam yang menjadi sumber keselamatan dan kedamaian).
Tidak ada ucapan dan salam yang paling indah kecuali berasal dari Zat yang
memiliki keselamatan dan kedamaian (fahayyinaa rabbanaa bi al-salaam),
yang hanya dapat diperoleh dengan masuk ke dalam surga yang merupakan kampung
kedamaian (wa adkhilnaa al-jannata darussalaam).
Seorang
Muslim, dalam hidupnya harus selalu berupaya meneladani sifat-sifat al-Salaam,
seorang Muslim dituntut untuk menghindarkan hatinya dari segala aib dan
kekurangan, dengki dan hasud serta berkehendak untuk berbuat kejahatan. Karena
itu, dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda:
“Seorang
Muslim sejati adalah yang menghindarkan atau menyelamatkan Muslim lainnya dari
kejahatan lisan dan tangannya”.
Dengan kata
lain, seorang Muslim sejati adalah yang memberi rasa aman kepada orang lain
dengan tidak menaykitinya melalui perkataan dan perbuatan. Seseorang yang
meneladani sifat Allah, al-Salaam, paling tidak, bila tidak dapat
memberi manfaat kepada selainnya, maka jangan sampai dia mencelakakannya. Kalau
dia tidak dapat membuat orang lain bergembira, maka paling tidak ia tidak
membuat orang lain resah. Dan kalau dia tidak dapat memuji orang lain, maka
paling tidak dia tidak mencela atau mengejeknya.
Dalam kamus
istilah-istilah ilmu sosial, Ahmad Zaki Badawi mendefinisikannya toleransi
sebagai sikap yang menunjukkan kesiapan untuk menerima berbagai pandangan dan
perilaku tanpa harus menyetujuinya2. Kesiapan itu dapat berupa
komitmen dan penghormatan terhadap keyakinan, tradisi dan perasaan orang lain,
terlepas dari perbedaan warna kulit, agama, ras, suku dan sebagainya. Deklarasi
Sidang Umum UNESCO, 16/11/1995 pasal 1 menyebutkan toleransi adalah
penghormatan, penghargaan dan penerimaan terhadap berbagai budaya dunia dan
bentuk-bentuk ekspresi serta sifat-sifat kemanusiaan3.
Dalam
konteks masyarakat modern yang sangat beragam, toleransi menjadi kata kunci
dalam membangun hubungan antara individu dan kelompok agar tercipta kehidupan
yang harmonis dan penuh kedamaian.
Apresiasi
Islam Terhadap Toleransi
Al-Qur’an
dan hadis memberikan apresiasi tinggi terhadap sikap toleran, antara lain:
1. Allah
menyiapkan balasan berupa ampunan dan surga bagi yang menahan amarah dan
memaafkan orang lain.
“Dan
bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa,
(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan
Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan”. (Q.s. Ali Imran 133-134).
2. Toleransi
merupakan akhlak terbaik penghuni dunia dan akhirat.
“Maukah
kalian aku tunjukkan akhlak penghuni dunia dan akhirat? (Yaitu) siapa yang
memaafkan orang yang menzaliminya, memberi kepada orang yang pernah
memboikotnya, dan menyambung silaturahim kepada yang memutusnya” (Mushannaf
Ibn Abi Syaibah, 7/238).
3. Orang
yang bersikap kasih akan dikasihi oleh Allah.
“Orang-orang
yang mengasihi akan disayang oleh Dzat Yang Maha Pengasih. Sayangilah yang di
bumi kalian akan disayang yang di langit”. (HR. Al-Tirmidzi 4/324).
4. Toleransi
merupakan bentuk lain dari sedekah.
Rasulullah memuji dan meminta setiap Muslim untuk meniru
sikap Abi Dhamdham yag setiap pagi selalu berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya
aku telah bersedekah dengan kehormatanku (jika mendapat cemoohan, cibiran dan
hal negatif lainnya) kepada hamba-hamba Mu yang menyakitiku”. (HR. Abu Daud
4/272).
5. Toleransi
jalan menuju surga.
“Seseorang
masuk surga karena sikap toleran” (Musnad Ahmad 11/550).
6. Sikap
keberagamaan yang toleran, memudahkan dan tidak mempersulit adalah yang paling
dicintai oleh Allah SWT.
“Agama
(atau sikap hidup keberagamaan) yang paling disukai oleh Allah adalah yang
lurus, memudahkan dan tidak mempersulit”. (HR. Al-Bukhari 1/16).
Toleransi
Sebagai Kewajiban Agama dan Kebutuhan Hidup
Toleransi
Islam dibangun di atas Islamic worldview, pandangan dunia Islam terhadap
alam semesta. Dalam filsafat Islam kita mengenal ada al-haqq, yaitu
Allah SWT dan ada al-khalq yang mencakup semua makhluk/ciptaan. Ada yang
wajib al-wujuud (wajib adanya) dan ada yang wujuud, yaitu yang
diciptakan oleh waajib al-wujuud. Al-Haqq dan waajib al-wujuud
bersifat tunggal dan Esa, sedangkan seluruh al-khalq (ciptaan/makhluk);
benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia, pemikiran dan lainnya yang selain
Allah beragam.
Keragaman
alam semesta ciptaan Allah dapat dilihat dari beberapa petunjuk Al-Qur’an
berikut:
1. Keragaman
tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, hewan, gunung dan lain sebagainya.
“Tidakkah
engkau melihat bahwa Allah menurunkan air dari langit lalu dengan air itu Kami
hasilkan buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung
itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula)
yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang
bernyawa dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan
jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada Nya, hanyalah para
ulama. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun”. (Q.s. Fathir 27-28).
“Dan
Dialah yang menjadikan tanaman-tanaman yang merambat dan yang tidak merambat,
pohon kurma, tanaman yang beraneka ragam rasanya, yaitu zaitun dan delima yang
serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak serupa (rasanya)”. (Q.s. Al-An’am
141).
2. Keragaman
suku, bangsa, bahasa, warna kulit.
“Wahai
manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui,
Mahateliti”. (Q.s. Al-Hujurat 13).
“Dan
diantara tanda-tanda (kebesaran) Nya ialah penciptaan langit dan bumi,
perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda bagi orang-orang yang mengetahui” (Q.s. Al-Rum
22).
3. Keragaman
agama dan pandangan keagamaan.
“Untuk
setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau
Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali,
lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan”.
(Q.s. Al-Maidah 48).
“Dan jika
Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka
senantiasa berselisih (pendapat), kecuali orang yang diberi rahmat oleh
Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah meciptakan mereka”. (Q.s. hud 118-119).
Keragaman
agama, budaya dan peradaban merupakan ‘illat (sebab) penciptaan (walidzaalika
khalaqahum), dalam artian manusia diciptakan untuk berbeda. Oleh karenanya,
tanpa toleransi tidak akan tercipta keharmonisan dalam keragaman.
Atas dasar
itu, keragaman dan perbedaan merupakan sebuah ketetapan Allah di alam semesta
yang selamanya tidak pernah berubah. Keragaman tersebut menurut adanya hubungan
yang harmonis dan saling mengenal antara pihak-pihak yang berbeda. Di sinilah
sikap toleran menjadi penting dalam membangun hubungan antara kelompok manusia,
budaya, peradaban, aliran/mazhab, agama, syariat, ras, suku bangsa, warna
kulit, bahasa, kebangsaan dan sebagainya. Tanpa itu kehidupan akan dipenuhi
perseteruan dan permusuhan serta saling menafikan satu dengan lainnya.
Oleh karena
itu tidak berlebihan jika dikatakan toleransi sebagai kebutuhan/keharusan dalam
hidup (dharuurah hayaatiyyah), salain sebagai kewajiban agama (fariidhah
diniyyah) seperti dijelaskan pada ayat-ayat dan hadis di atas. Dalam
pandangan Islam, toleransi bukanlah pemberian dari orang atau kelompok yang
kuat kepada yang lemah, tetapi sebuah nilai esensial yang diajarkan Islam dan
menjadi cirri yang melekat dari ajaran Islam.
Berangkat
dari sikap Al-Qur’an yang menjadikan keragaman dan perbedaan sebagai ketetapan
Allah (sunnatullah) di alam semesta, maka keadilan dan obyektifitas yang
merupakan tolak ukur sikap Al-Qur’an, menjadi landasan dalam bersikap terhadap
orang lain yang berbeda, bahkan jug kepada diri sendiri. Dalam rangka
mewujudkan toleransi berkeadilan itu Al-Qur’an meminta kepada kita untuk
bersikap adil dan obyektif dalam melihat atau bersikap kepada:
1. Diri
Sendiri;
“Wahai
orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena
Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu”.
(Q.s. Al-Nisaa’ 135).
Orang yang
tidak kita senangi. Kebencian terhadap seseorang tidak seharusnya menjadi
penghambat untuk berlaku adil kepadanya.
“Dan
janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk tidak berlaku
tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa”.
(Al-Maidah 8).
2. Yang
memusuhi, menyakiti dan memerangi;
barangsiapa
menyerang kamu, maka seranglah dia setimpal dengan serangannya terhadap kamu (Q.s. Al-Baqarah 194).
Dalam
membalas kejahatan mereka Al-Qur’an mengajarkan untuk melakukan yang setimpal,
sambil menawarkan opsi lain yang terbaik, yaitu bersabar.
“Dan jika
kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang
ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih
baik bagi orang yang bersabar”. (Q.s. Al-Nahl 126).
3. Yang
berbeda agama atau paham keagamaan, dengan tidak melakukan generalisasi.
“Mereka
itu tidak (seluruhnya) sama. Di antara Ahli Kitab ada golongan yang jujur, mereka
membaca ayat-ayat Allah pada malam hari, dan mereka (juga) bersujud (salat).
Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan
mencegah dari yang mungkar dan bersegera (mengerjakan) berbagai kebajikan.
Mereka termasuk orang-orang saleh”. (Q.s. Ali Imran 113-114).
Tuntutan
berbuat adil dan objektif dalam memandang orang lain Karen Allah adalah Tuhan
seluruh umat manusia dan alam semesta, yang telah memuliakan seluruh umat
manusia (bani Adam) tanpa melihat perbedaan agama, warna kulit, ras, bahasa dan
lainnya (Q.s. Al-Isra 70). Semua manusia berasal dari satu bapak dan ibu; Adam
dan Hawa.
Bentuk
Toleransi Islam
Sikap
toleran dan menghargai tidak hanya berlaku terhadap orang lain, tetapi juga
kepada diri sendiri. Bahkan sikap toleran harus dimulai dari diri sendiri.
Ketika mendapati salah seorang sahabat yang berazam/berketetapan hati untuk
selalu berpuasa di siang hari dan beribadah di malam tanpa henti, Rasulullah
mengingatkan agar ia memperhatikan dirinya dan memberinya hak yang
proporsional.
“Sesungguhnya
tubuhmu punya hak (untuk kamu istirahatkan), matamu punya hak (untuk
dipejamkan), dan isterimu juga punya hak (untuk dinafkahkan)”. (HR.
Al-Bukhari 3/39)
Terhadap
mereka yang berbeda agama dan keyakinan Al-Qur’an menetapkan prinsip tidak ada
paksa dalam beragama (Q.s. Al-Baqarah 256), sebab kebebasan beragama merupakan
bagian dari penghormatan terhadap hak-hak manusia yang sangat mendasar. Tugas
seorang Nabi, demikian juga seorang da’i, hanyalah menyampaikan risalah, bukan
untuk memaksa dan menguasai. Oleh karenanya, tidak boleh ada seorang manusia
yang dizalimi, ditindas dan direnggut kebebasannya.
Pesan
Al-Qur’an untuk tidak memaksa seseorang masuk Islam dipahami betul oleh Umar
Bin Khattab saat menjadi Khalifah. Ketika datang seorang perempuan tua yang
beragama Kristen meminta bantuan kepadanya. Umar berkata, “masuklah Islam,
engkau akan merasa aman dan damai. Sesungguhnya Allah telah mengutus Nabi
Muhammad untuk menyampaikan kebenaran”. Perempuan itu berkata, “Aku sudah
lanjut usia, dan sudah mendekati mati”. Sebuah ungkapan yang menunjukkan bahwa
dia tidak mau menuruti permintaan Umar. Meski demikian, Umar tetap membantunya.
Setelah perempuan itu pergi, khawatir ajakannya tadi bernuansa paksaan untuk
masuk Islam, Umar pun beristigfar mohon ampunan kepada Allah seraya berkata,
“Ya Allah, saya hanya sekadar memberinya petunjuk, dan tidak memaksa”.
Dalam
literatur fiqih Islam, pernah terjadi perdebatan seru antara para ulama tentang
seorang suami Muslim yang mengajak istrinya yang non muslim untuk masuk Islam.
Menurut Imam Syafi’I, suami Muslim tidak noleh membuka pembicaraan tentang itu
kepada isterinya, an tidak boleh diajukan kepada kepadanya untuk berislam.
Bahkan sebagian ahli fiqih berpendapat, suami tersebut tidak boleh menghalangi
sang isteri untuk beribadah sesuai keyakinannya. Sebagian lagi berpandangan,
suami harus mau mengantar isterinya beribadah ke gereja atau rumah ibadah
lainnya (Al-Houfi, Tsaqaafat al-tasaamuh, h.53).
Dalam
pergaulan dengan mereka yang berbeda adama dan keyakinan, Al-Qur’an menetapkan
rambu-rambu, yaitu tidak ada larangan untuk bergaul dan bekerjasama dalam
kerangka kebaikan dan keadilan selama mereka tidak memusuhi, memerangi secara
terang-terangan dan tidak mengusir umat Islam dari negerinya. Allah berfirman:
“Allah
tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung
halamanmu. Sesungguhnya Allah hanya menarang kamu menjadikan mereka kawanmu
orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari
kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa
menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim”.
(Al-Mumtahanah 8-9).
Kepada ahlul
kitab (Yahudi dan Nasrani), selain dituntut berlaku adil dan objektif,
sekiranya terjadi dialog dan debat dengan mereka, kita diperintahkan oleh
Al-Qur’an melakukannya dengan cara yang terbaik.
“Dan
janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab. Melainkan dengan cara yang terbaik”.
(Q.s. Al-Ankabut 46).
Kepada orang
musyrik; penyembah berhala, api dan lainnya, umat Islam jug diperintahkan untuk
memberikan perlindungan dan keamanan jika mereka meminta bantuan, bahkan
berkewajiban untuk mengantarkannya sampai ke tempat yang betul-betul ia merasa
aman. Allah berfirman:
“Dan jika
diantara kaum musyrikin ada yang meminta perlindungan kepadamu, maka
lindungilah agar dia dapat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah dia ke
tempat yang aman baginya. (Demikian) itu karena sesungguhnya mereka kaum yang
tidak mengetahui”. (Q.s. Al-Taubah 6).
Toleransi
Islam bukan hanya berlaku dalam situasi damai. Dalam situasi perang dan
bentrokan bersenjata, bila pihak lawan menginginkan damai maka keinginan
tersebut harus disambut dengan tangan terbuka. Allah berfirman:
“Tetapi
jika mereka condong kepada perdamaian, maka terimalah dan bertawakallah kepada
Alllah. Sungguh, Dia Maha mendengar, Maha Mengetahui”. (Q.s. Al-Anfal 61).
Jalan damai
didahulukan karena memang pernang dalam Islam lebih bersifat difensif ketimbang
ofensif. Perang dalam Islam bukan untuk memperturuti hawa nafsu atau merebut
kekuasaan, tetapi untuk membela diri. Perhatikan ayat yang pertama kali turun
memperkenankan umat Islam untuk berperang pada tahun ke-2 hijriah. Izin
diberikan karena mereka diserang, dan perlawanan dilakukan antara lain untuk
melindungi rumah-rumah ibadah dari kerusakan dan kehancuran (Q.s. Al-Hajj
39-40).
Selain
terhadap ahlul kitab dan orang musyrik yang berbeda keyakinan, sikap toleran
juga diunjukkan kepada orang yang keluar dari agama Islam (murtadd).
Mereka tidak boleh dipaksa untuk bertahan dalam Islam, tetapi ada sebuah proses
dialog yang persuasif melalui mekanisme yang disebut dengan istitaabah
(permohonan bertobat/kembali). Banyak ulama menyebut masa tersebut adalah tiga
hari. Menurut Imam Ali, masa istitaabah satu bulan lamanya, dan menurut
Imam al-Nakhai, masa istitaabah berlaku sepanjang masa, tidak ada
batasnya.
Bentuk lain
dari toleransi Islam yang terkait kebebasan beragama adalah tidak cepat-cepat
menghukumi kafir kepada orang yang masih menyisakan sedikit celah untuk disebut
sebagai muslim. Imam Malik, seperti Sayyid Sabiq, mengatakan,
“Orang
yang perbuatan dan pernyataannya mengarah kepada kekufuran dari sembilan puluh
Sembilan arah, tetapi masih menyisakan keimanan walau dari satu arah, maka
dihukumi sebagai beriman”(Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 2/454).
Toleransi
Dalam Kehidupan Nabi
Kehidupan
Rasulullah merupakan contoh kongkrit dari ajaran Al-Qur’an. Kepribadiaan beliau
mencerminkan akhlak Al-Qur’an yang sangat mulia, dan memang untuk itu beliau
diutus. Tugas tersebut telah dilaksanakan dengan sangat baik, dan bisa kita
lihat dalam berbagai literatur hadis dan sejarah yang berisikan perkataan dan
sikap Rasulullah.
Terkait
dengan toleransi, Rasulullah mengajarkan umatnya untuk selalu bersikap toleran
dalam segala hal, baik kepada sesama muslim maupun kepada yang bukan muslim. Di
tangan Rasulullah Islam datang untuk menjadi agama kasih yang memudahkan orang,
bukan menyulitkan. Perhatikanlah bagaimana beliau menyikapi seorang badui yang
terkenal keras watak dan terbelakang ketika datang ke masjid dan kencing di
situ. Serentak semua orang memarahinya, tetapi Rasulullah justru membiarkannya
dan mengatakan kepada para sahabatnya, fa innamaa bu’itstum muyassiriin wa
lam tub’abtsuu mu’assiriin (kalian diutus untuk memberikan kemudahan, bukan
untuk menyulitkan).
Ketika
ditanya tentang agama atau sikap keberagamaan yang paling dicintai Allah,
beliau menjawab, “Itulah agama yang memberikan kemudahan, bukan kesulitan (al-haniiyyah
al-samhah)” (HR. Ahmad). Berdasarkan hadis ini, Imam Syafi’I merumuskan
sebuah kaidah “kesulitan mendatangkan kemudahan” (al-masyaqqatu tajlibu
al-taysir) dan kaidah “ketika suatu urusan menyempit/sulit maka
terbuka/meluas pilihan hukum yang lain” (idzaa dhaaqa al-amru ittasa)(Al-Munawi,
Fayadh al-Qadiir, 2/572).
Rasulullah
bersifat pengasih dan pemaaf kepada semua orang, termasuk yang pernah
meyakitinya. Ketika kota Mekkah berhasil dikuasai oleh kaum Muslimin pada tahun
ke-8 Hijriah melalui sebuah peristiwa yang disebut fathu Makkah, tidak
ada sedikit pun dalam hatinya tersimpan rasa dendam kepada tokoh-tokoh kafir
Mekkah yang pernah menyakitinya, berusaha membunuhnya, bahkan ‘mengusir’nya
sampai ia dan para sahabatnya berhijrah ke Madinah. Jika kebiasaan para
penguasa setelah menduduki dan menguasai sebuah negeri mengankap dan menawan
musuh-musuhnya, tidak begitu dengan Rasulullah. Beliau justru mengatakan, idzhabuu
antum al-thulaqaa (pergilah, kalian adalah orang-orang yang bebas).
Terhadap para tawanan perang, beliau tidak menyiksa, membunuh atau
memperbudaknya. Setiap tawanan diminta mengajarkan baca tulis kepada setiap
sepuluh anak-anak kaum muslimin sebagai tebusan, yang dengan itu kemudian ia
bebas.
Sikap
toleran Rasulullah terhadap mereka yang berbeda adama dan keyakinan dapat
dilihat dari pengakuan terhadap ajaran sebelumnya. Dalam pandangan beliau,
nabi-nabi utusan Allah itu adalah seperti bersaudara satu bapak lain ibu (ikhwatun
min ‘allaat), agmanya satu tetapi syariatnya beragam. Pernyataan tersebut
beliau sampaikan melanjutkan pernyataan sebelumnya bahwa beliau adalah orang
yang berhak menghormati Nabi Isa di dunia dan akhirat (HR. Muslim).
Begitu juga
terhadap Nabi Musa yang sangat diagungkan oleh umat Yahudi. Beliau sangat
memuliakannya dan sebagian ajarannya. Ketika datang ke Madinnah, Rasulullah
mendapati orang-orang Yahudi yang ada di sana berpuasa pada tanggal 10 Muharram
(‘asyura). Setelah mendapatkan penjelasan bahwa mereka berpuasa mengikuti
tradisi Nabi Musa sebagai ungkapan rasa syukur atas diselamatkannya Nabi Musa
dan bani Israil dari kejaran Fir’aun yang berakhir dengan tenggelamnya Fir’aun
dan bala tentaranya di Laut Merah, beliau berkata, “kami lebih berhak untuk
menghormati Nabi Musa dari pada kalian”. Beliapun berpuasa, dan menganjurkan
kepada umatnya untuk berpuasa di hari itu.
Berangkat
dari paengakuan dan penghormatan terhadap nabi-nabi terdahulu, Rasulullah
memualiakan para penganut agama-agama lain. Terhadap kelompok Yahudi yang telah
lebih dahulu mendominasi kota Madinah, beliau membuat perjanjian dan
kesepakatan untuk hidup rukun dan harmonis yang dituangkan dalam piagam
Madinah. Piagam itu dapat disebut sebagai konstitusi Negara Madinah. Dari 52
pasal yang ada dalam konstitusi tersebut, pembicaraan tentang Yahudi terdapat
dalam 14 pasal, yang menganggap mereka sebagai bagian dari warga masyarakat,
sehingga berhak mendapat hak-hak mereka secara penuh sebagai warganegara. Di
situ dinyatakan antara lain, “Kelompok Yahudi adalah sebuah komunitas
(ummah) yang hidup bersama kaum Muslimin. Masing- masing menganut agamanya
tersendiri. Orang-orang Yahudi dan kaum Muslimin berhak untuk mendapatkan
nafkah. Jika diantara mereka ada yang diserang atau diperangi maka yang lain
berkewajiban membantu. Hendaknya di antara mereka yang akan merugikan semua
pihak, maka keputusan terakhir ada di tangan Nabi Muhammad ……. dan
seterusnya”. (Al-Qawl al-Mubin fi Sirat Sayyidi al-Mursalin, h.197).
Hal yang
sama dilakukan kepada penganut Kristen. Ketika datang utusan kelompok Kristen
dari Najran di Yaman pada 10 H/631 menghadap beliau di Madinah, dan tiba saat
melakukan peribadatan, mereka diperkenankan melakukannya di Masjid Nabawi.
Setelah menyatakan tunduk kepada kekuasaan Islam, bersam mereka Rasulullah
membuat perjanjian sebagai berikut:
“Najran
dan daerah sekitarnya adalah tetangga Allah. Jiwa, agama, tanah air, harta,
seluruh penduduknya, keluarga dan rumah-rumah ibadah mereka berada di bawah
tanggung jawab Nabi Muhammad. Mereka tidak boleh dirubah dari keadaan mereka
semula. Demikian pula hak dan agama mereka tidak boleh diganti. Para pendeta
mereka tidak boleh dicabut kependetaannya. Negeri mereka tidak boleh dibiarkan
diserang oleh pasukan tentara. Jika masih ada praktik riba yang sebelumnya
telah berlangsung, saya (Nabi Muhammad) tidak bertanggungjawab atas itu.
Perjanjian ini berlaku selamanya, selama mereka masih berkomitmen dan memiliki
niat baik” (Al-bayhaqi, Dalaail al-Nubuwwah 6/154).
Selain
komunitas Yahudi di Madinah dan Kristen di Yaman (Najran dan sekitarnya), di
Madinah juga terdapat kelompok yang selalu merongrong kekuatan umat Islam,
tetapi secara lahir mereka menyatakan sebagai bagian dari umat Islam. Mereka
ibarat duri dalam daging, atau orang yang menggunting dalam lipatan. Itulah
kelompk munafik. Jumlah mereka sangat banyak. Menurut sebagian riwayat,
mencapai tidak kurang dari 300 orang. Rasulullah tahu persis kelakuan mereka
ysng selalu berpura-pura, sebab Allah selalu membuka kedok mereka melalui wahyu
yang diturunkan-Nya. Oleh karena itu dalam Al-Qur’an ditemukan banyak sekali
pembicaraan tentang orang munafik. Bahkan terdapat satu surat khusus yang
diberi nama al-munaafiqiin, yang jumlah ayatnya jauh lebih banyak dari
surat al-kaafiruun.
Rasulullah hanya
bersikap hati-hati terhadap mereka yang selalu merongrong kekuatan umat Islam,
dan tidak membunuh mereka. Padahal di antara sahabatnya, seperti Umar,
berkeinginan untuk membunuh karena kelakuan mereka yang sudah keterlaluan.
Rasulullah mencegahnya dan berkata, “biarkan, saya tidak ingin orang berkata
Muhammad telah membunuh sahabat-sahabatnya” (HR. Al Bukhari)
Terhadap
orang murtad yang keluar dari agma Islam Nabi juga tidak menghukum mereka,
kecuali dalam kasus yang disertai dengan hiraabah/gangguan terhadap
stabilitas keamanan dengan menggunakan senjata/kekerasan, seperti yang terjadi
dengan sekelompok orang yang merampas onta yang diperuntukkan sedekah (harta
milik Negara), dan membunuh anak-anak penggembala onta (aparat Negara). Riddah
jika menjadi pilihan pribadi itu bagian dari kebebasan beragama, ‘disembuhkan’
dengan hiwar (dialog). Di sini berlaku istitaabah seperti telah
dijelaskan terdahulu. Jika disertai gangguan keamanan maka berlaku had
al-hiraabah (pidana hiraabah) seperti dalam Q.s. Al-Maidah 33-34.
Dalam kitab-kitab fiqih, pembahasan hukum riddah terdapat dalam kitab al-hiraabah.
Demikian
beberapa contoh keteladanan toleransi dalam kehidupan Nabi yang diperlihatkan
kepada sesama Muslim dan juga kepada orang yang berbeda keyakinan; Yahudi,
Kristen, musyrik, munafik an yang murtad.
Toleransi
Islam Pada Masa Sahabat
Sebagai
orang-orang yang terdekat dengan Nabi, para Sahabat selalu berusaha meneladani
beliau dalam segala hal, termasuk toleransi. Saat terjadi perluasan wilayah
kekuasaan Islam ke beberapa wilayah sekitar, penduduk negeri yang dikuasai
dibiarkan hidup bebas menganut agama dan keyakinan semula. Kepada panglima
pasukan yang dikirim, para Khalifah selalu berpesan agar tidak mengganggu
kehidupan beragama penduduk setempat.
Perhatikan
wasiat Abu Bakar kepada Usamah bin Zaid, panglima pasukan ke Syam: “Kamu akan
mendapatkan sekelompok orang yang mendermabaktikan dirinya untuk beribadah
kepada Allah sesuai keyakinannya. Biarkan mereka dan jangan ganggu keyakinan
mereka. Jangan bunuh perempuan, anak-anak dan orang yang lanjut usia. Jangan
kau bunuh kambing dan onta kecuali untuk dimakan. Jangan bakar pohon kurma dan
jangan tenggelamkan. Jangan bersikap culas terhadap harta rampasan dan jangan
jadi pengecut”(Muwaththa’ Imam Malik 3/636).
Demikian
pula yang dilakukan Umara bin Khattab ketika berhasil merebut dan membebaskan
kota Yerussalem dari Imperialisme Romawi pada tahun 15 H/635 M. Umar membuat
perjanjian dengan penduduk setempat yang berisikan jaminan keamanan untuk
mereka. Jiwa, harta, gereja, salib dan semua agama yang ada disitu mendapat
perlindungan dari Umar. Gereja-gereja mereka tidak boleh diduduki dan
dihancurkan. Mereka juga tidak boleh dipaksa untuk meninggalkan agama mereka
(Tarikh al-Thabari 3/609). Kekhawatiran gereja akan dirubah menjadi masjid
mendasari Umar tidak melakukan shalat di dalam sebuah gereja di Yerussalem
ketika waktu shalat tiba dan pendeta memperkenankan shalat di situ. Umar
khawatir umat Islam sepeninggalnya akan menjadikan gereja tersebut sebagai masjid
hanya karena Umar pernah shalat di situ.
Hal yang
sama berlaku terhadap Majusi penyembah api yang banyak tinggal di Persia.
Berdasarkan masukan saran tim 70 (majlis syura) Umar RA memberikan kepada
penganut Majusi hak-hak seperti yang diterima oleh Ahli Kitab. Ini sesuai sabda
Rasulullah yang menyatakan, “perlakukan mereka (Majusi) seperti perlakuan ahlul
kitab” (sannuu sunnata ahli al-kitaab)(Muwaththa Imam Malik 2/395).
Amru bin
Ash, panglima pasukan Islam yang berhasil menaklukkan Mesir, dialah yang
mengembalikan Petrick Mesir, Bunyamin (39 H/659 M), ke tengah umatnya di Mesir
setelah 13 tahun lari dari kejaran Romawi dan memberikannya kebebasan dalam
beragama. Bahkan dia membebaskan gereja-gereja dari kekuasaan Romawi, bukan
untuk diubah menjadi masjid, tetapi untuk dikembalikan kepada mereka sebagai
tempat ibadah mereka.
Oleh karena
itu jangan heran, jika setelah satu abad Mesir, Persia dan Syam dikuasai oleh
kaum Muslimin, penduduknya yang masuk Islam hanya sekitar 20%. Islam melindungi
mereka dari Romawi, demi kebebasan beragama. Sampai abad ke-10 M, tiga abad
setelah kekuasaan Islam masuk, rumah-rumah ibadah para penyembah api tetap
berdiri tegak di Irak, Persia, Kirman, Sijistan, Khurasan dan Adzerbaijan.
Hampir tidak ada kota di Persia yag di situ tidak ada rumah ibadah penyembah
api (Al-Houfi, Samaahat al-Islam, h.189).
Di bawah
kekuasaan Islam para penganut agama-agama selain Islam mendapatkan keamanan,
kenyamanan dan kedamaian. Banyak di antara mereka yang menduduki jabatan
strategis dalam pemerintahan pada masa dinasti Bani Umayyah dan Abbasiyah. Sir
Thomas Arnold pernah mendata nama-nama menteri, gubernur dan dokter kepercayaan
para Khalifah, dan berkesimpulan, “Orang-orang Kristen mendapat kekayaan yang
luar biasa dan menggapai kesuksesan di masa awal Islam berkat kebebasan
beragama dan kepemilikan yang di jamin oleh Islam. Sampai-sampai banyak di
antara mereka memiliki kedudukan penting di istana para Khalifah (Al-Houfi,
Samaahat al-Islam, h. 193).
Demikian
sekelumit tentang toleransi dalam Islam yang dapat disimpulkan dari beberapa
petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah. Wallahua’alam.
*Istiqlal, 5 Oktober 2012
1Ibn
al-Atsir, Al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, 2/398
2Ahmad Zaki
Badawi, Mu’jam Mushthalahaat al-Uluum al-ijtimaaiyyah, Beirut: Maktabat
Lubnan, 1982
3Rusydi Ahmad
Thuaimah, Tsaqaafat al-Tasaamuh fi Dhaw’l al-Tarbiyah wa al-Diin, Kairo:
Dar al-Fikr al Arabi, h. 19
MAKALAH PERDAMAIAN DALAM AL-QUR'AN SURAT AL-HUJURAT AYAT 9-10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang
merupakan Mu’jizat Nabi Muhammad SAW. di dalam Al-Qur’an sudah mencakup semua
aspek kehidupan manusia, sebagai kalam Ilahi, Al-Qur’an memiliki kandungan yang
sangat menakjubkan, baik dari segi teks yang tersurat ataupun makna yang
tersirat, penggalian maknda dengan cara menafsirkan dan mentakwilkan Al-Qur’an
oleh para mufassirin ditujukan untuk menemukan kaidah-kaidah dan nilai-nilai
yang terdapat dalam Al-Qur’an, itupun masih bersifat relatif karena
keterbatasan manusia.
Manusia tak dapat hidup sendiri, ia
adalah mahluk sosial, oleh karena itu perlu bergaul dengan orang lain yakni
hidup bermasyarakat. Selain itu, hubungan silaturahmi sangat dianjurkan agar
persaudaraan dan hubungan baik terjalin, demikian juga tentang pergaulan antar
sesama manusia haruslah mengindahkan aturan-aturan yang sudah dijelaskan dalam
Islam.Karena Islam merupakan agama terakhir dan penyempurna agama-agama
terdahulu, maka bisa difahami bahwa Islam mengandung ajaran yang paling lengkap
dan sempurna, Islam sangat rinci mengatur kehidupan umatnya.
Beranjak dari hal tersebut maka penulis
ingin mengulas penafsiran QS. Al-Hujurat ayat 9-10, dimana didalamnya mengatur
mengenai perdamaian antara dua kelompok mukmin.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penafsiran QS. Al-Hujurat ayat 9-10?
2. Apa Ibrah yang disampaikan dalam QS. Al-Hujurat ayat 9-10?
BAB II
PEMBAHASAN
وَإِنْ طَائِفَتَانِ
مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَأَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ
إِحْدَاهُمَا عَلَى الأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِيْ تَبْغِيْ حَتَّى تَفِيْءَ
إِلَى أَمْرِ اللهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ
وَأَقْسِطُوْا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ (٩) إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوْا بَيْنَ
أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ (١٠)
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang
beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang
satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar
Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia
telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu
Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.
Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah,
supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 9-10)
A.
Tafsir Kata
-
In bermakna jika, menunjukkan bahwa pertikaian antara mukmin
jarang terjadi.
-
Iqtatalu terambil dari kata qatala yang berarti membunuh, berkelahi,
atau mengutuk.
-
Thâifatâni: dua kelompok
-
ash-lihũ terambil dari kata ashlaha asalnya adalah shaluha.
Antonim dari kata fasada (rusak) yang berarti (manfa’ah). Berarti
ash-lihũ bermakna perintah untuk mendatangkan manfa’at atau melakukan
perbaikan; tentunya hubungan antara yang bertikai.
-
Baghat terambil dari kata baghâ pada dasarnya berarti
kehendak, namun berkembang pada makna melampaui batas.
-
al-Muqshithîn terambil dari kata qisth yang biasanya
diartikan dengan kata ‘adl. Namun ada yang mengartikannya bahwa qisht
adalah keadilan yang diterapkan kepada dua belah pihak sementara ‘adl menempatkan
sesuatu pada tempatnya walau tidak menyenangkan satu belah pihak.
B.
Asbabun Nuzul
Al-Bukhari berkata: Musaddad menceritakan
kepada kami; Mu’tamir menceritakan kepada kami, ia berkata: aku mendengar
ayahku bahwa Anas r.a berkata: “Ada yang berkata kepada Nabi saw. ‘Sekiranya
engkau mendatangi ‘Abdullah bin Ubay,’ Nabi saw. lalu bertolak kepadanya dengan
mengendarai keledai dan kaum Muslimin juga bertolak berjalan bersama beliau di
sebuah tanah lembab dan asin (yang tidak dapat digarap). Tatkala Nabi saw.
mendatanginya, ia (‘Abdullah bin Ubay) berkata, ‘Menjauhlah dariku, demi Allah
bau busuk keledaimu telah menggangguku.” Maka salah seorang Anshar dari mereka
berkata, ‘Demi Allah, sungguh keledai Rasulullah saw lebih harum baunya
daripada kamu.’ Lalu salah seorang dari kaumnya marah untuk (membela)
‘Abdullah, sehingga keduanya saling mencaci dan diikuti oleh kemarahan para
sahabat kedua orang itu. Sehingga terjadi saling pukul antara keduanya dengan
pelepah kurma, sandal dan tangan. Kemudian sampailah (berita) kepada kami bahwa
telah turun ayat: ‘Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin
berperang, maka damaikanlah antara kedunya.’”[1][1]
C.
Munasabah Ayat
Ayat 9 ini memiliki munasabah dengan ayat sebelumnya, yaitu
ayat ke 8 dimana Allah memperingatkan kepada orang-orang Mu’min supaya waspada dalam menerima
berita yang disampaikan oleh orang fasiq, maka Allah swt. Menerangkan pada ayat
ke 9, tentang apa yang bisa saja terjadi akibat berita seperti ini. Seperti
pertengkarangan antara dua kelompok yang kadang-kadang akhirnya menyebabkan
peperangan.
Dan pada ayat ke 10, Allah memperkuat dengan menjelaskan
bahwa sesungguhnya mu’min itu bersaudara dan harus saling meperbaiki hubungan
satu sama lain. Ayat ini memiliki munasabah dengan ayat yang ke 11 dan 12,
dimana Allah memberikan langkah-langkah untuk menghindari
pertikaian/pertengkaran. Misal, dalam dua
ayat tersebut, Allah Swt. melarang beberapa sikap yang dapat memicu
pertikaian, seperti saling mengolok-olok dan mencela orang lain,
panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk (QS al-Hujurat [49]: 11);
banyak berprasangka, mencari-cari kesalahan orang lain, dan menggunjing
saudaranya (QS al-Hujurat [49]: 12). ayat tersebut juga Mendidik
orang-orang Mu’min dengan kesopanan-kesopanan, yang
jika mereka pegang teguh, maka akan langgenglah rasa cinta dan persatuan sesama
mereka.
D.
Tafsir Ayat
Ayat ini dengan jelas menerangkan bahwa kalau dua golongan
kaum mukmin bersengketa hingga menimbulkan perang, maka kewajiban bagi orang
Islam untuk mendamaikan dengan segera kedua golongan yang berperang itu.[2][2] Dengan demikian, maka perdamaian merupakan
tujuan dalam Islam. Bukankah makna Islam adalah damai?
Hal ini juga terlihat dari penjelasan Prof. Hasbi
ash-Shiddieqy bahwa: “Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bagaimana para
mukmin mendamaikan dua golongan yang bersengketa dan menyuruh para mukmin
memerangi golongan yang kembali membuat aniaya (zalim) sesudah diadakan
perdamaian, sehingga dengan demikian mereka bisa kembali kepada perdamaian yang
mereka langgar. Perdamaian, sebagaimana wajib kita lakukan antara dua golongan
yang bermusuhan, begitu pula antara dua orang bersaudara yang bersengketa. Pada
akhirnya Allah menyuruh kita bertaqwa kepada-Nya dan mengakui hukum-Nya.”[3][3]
Ternyata, perintah mendamaikan antara yang bertikai tak
semata mendamaikan kedua kelompok mukmin saja. Kata ikhwah dalam
al-Qur’an yang hanya terulang tujuh kali dalam al-Qur’an ternyata berbeda
maknanya dengan kata ikhwah dalam al-Hujurât ini. “Hal ini agaknya
untuk mengisyaratkan bahwa persaudaraan yang terjalin antara sesama Muslim,
adalah persaudaraan yang dasarnya berganda. Sekali atas dasar persamaan iman,
dan kali ke-dua adalah persaudaraan seketurunan, walaupun yang kedua ini bukan
dalam pengertian yang hakiki. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk
memutuskan hubungan persaudaraan itu”.[4][4]
Adapun penggunaan bentuk dual pada kata akhawaikum di
sini memberi arti bahwa jangankan antara banyak orang, dua pun, jika mereka
berselisih harus di-ishlâh-kan. Sehingga harmonislah hubungan mereka.
Oleh karena semua dipandang bersaudara, maka “damaikanlah di antara
saudara-sauramu yang se-agama itu, sebagaimana kamu mendamaikan saudaramu yang
seketurunan”.[5][5] Quraish Shihab menutup tafsirannya
terhadap ayat ini dengan penekanan bahwa Islam jelas-jelas menuntut
terbentuknya kesatuan dan kesatuan, bukan sebaliknya. Problem jika ada yang
mengkhianati, maka perangilah, namun dengan tujuan agar mereka kembali, bukan
membasmi apalagi melakukan pelanggaran-pelanggaran berat yang sering terjadi
dalam peperangan seperti genosida dan sebagainya. Islam memiliki
ketentuan-ketentuan hukum dalam hal ini.
Sedangkan dalam ayat ke 10 adalah Implikasi
dari persaudaraan ini ialah hendaknya rasa cinta, perdamaian, kerja sama dan
persatuan menjadi landasan utama masyarakat muslim. Hendaklah perselisihan atau
perang merupakan anomali yang mesti dikembaikan kepada landasan trsebut begitu
suatu kasus terjadi. Dibolehkan memerangi kaum mukmin lain yang bertindak zalim
kepada saudaranya agar mereka kembali kepaa barisan muslim. Juga agar mereka
melenyapkan anomali itu berdasarkan prinsip dan kaidah Islam. Itulah penanganan yang tegas dan tepat.
E.
Ibrah Ayat
Ibrah yang Al-Qur’an sampaikan pada ayat-ayat ini, secara
umum mengatur, serta membimbing hubungan sosial antar sesama manusia, khususnya
umat Islam. Di mana pada ayat ini Allah menegaskan seorang mu’min hendaklah
memiliki ahlak yang baik. Hendaknya
seorang mukmin menentukan
batas antara baik dan buruk, antara yang terpuji dan yang tercela tentang
perkataan dan perbuatan manusia lahir dan batin, serta mencari ilmu
pengetahuan yang memberikan pengertian tentang baik dan buruk yang mengajarkan
pergaulan manusia. Sebagaimana yang Allah ajarkan dalam Al-Qur’an.
1. Perintah
untuk melakukan ishlâh jika ada pertikaian antara dua kelompok mukmin.
2. Perintah
memerangi orang-orang yang mengingkari janji damai sampai surut kembali
ke-jalan (perintah) Allah.
3. Perintah
untuk melakukan ishlâh secara adil seadil-adilnya.
4. Penegasan
bahwa mukmin itu adalah satu kesatuan ummat.
5.
Memperbaiki hubungan di antara sesama, karena mukmin itu bersaudara.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa
QS. Al-Hujurat ayat 9-10 tersebut menerangkan tentang perintah mendamaikan dua
pihak yang saling bertikai dan pentingnya persaudaraan antar mukmin.
Ibrah yang disampaikan dalam dua ayat tersebut
antara lain:
1. Perintah
untuk melakukan ishlâh jika ada pertikaian antara dua kelompok mukmin.
2.
Perintah memerangi orang-orang yang mengingkari janji damai sampai surut
kembali ke jalan (perintah) Allah.
3. Perintah
untuk melakukan ishlâh secara adil seadil-adilnya.
4. Penegasan
bahwa mukmin itu adalah satu kesatuan ummat.
5.
Memperbaiki hubungan di antara sesama, karena mukmin itu bersaudara.
[4][4] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Volume 13, Lentera
Hati: Jakarta, 2007, cetakan ke VIII, hlm.248