Wednesday, September 12, 2018

TOLERANSI DAN PERDAMAIAN DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN



Oleh: Dr. KH. Muchlis M Hanafi, MA (Tim Pakar Pusat Studi Al-Qur’an)

Umat Islam saat ini sedang melewati masa-masa sulit dalam perjalanan sejarahnya. Selain menghadapi berbagai tantangan globalisasi dan konspirasi musuh, di kalangan internal umat Islam terjadi berbagai aksi yang menguatkan dugaan yang dihembuskan oleh media internasional bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kekerasan dan umat Islam sebagai komunitas yang tidak toleran. Munculnya film fitna di Belanda pada tahun 2008, dan Innosence of Muslims di Amerika Serikat tahun 2012, yang diikuti oleh publikasi gambar kartun Nabi Muhammad oleh majalah Charlie Hebdo di Prancis beberapa hari setelah itu, merupakan stereotype yang dibangun terhadap Islam dan umat Islam sebagai bagian masyarakat dunia yang intolerance.

Kenyataan ini tentu tidak bisa didiamkan dan kita tidak boleh berpangku tangan. Bila pembuat film tersebut, dan juga bentuk pelecehan lainnya, terhadap sosok Nabi Muhammad SAW, didasari atas ketidak tahuan terhadap ajaran Islam, maka sudah menjadi kewajiban umat Islam untuk lebih meningkatkan dakwah Islam secara lebih meluas, dan itu sudah dilakukan dan masih akan terus dilakukan. Tetapi bila itu dilakukan dengan semangat anti Islam, maka sudah seharusnya ada kesepakatan internasional yang melarang penodaan terhadap agama apa pun, apalagi agama Islam yang dianut oleh sekitar 1,5 miliar warga dunia, sebab itu akan mengancam perdamaian dunia.

Menjadi tugas kita untuk menjelaskan kepada masyarakat dunia nilai-nilai Islam yang benar dan ajarannya yang sangat menghormati perbedaan dan keragaman. Toleransi adalah sebuah nilai yang sejatinya melekat sebagai ciri ajaran Islam. Di bawah panji toleransi Islam itulah selama ratusan tahun masyarakat dunia merasakan keamanan, kenyamanan dan kedamaian.

Bagi sebagian orang, berbicara toleransi di saat-saat ini bukanlah waktunya, sebab untuk menghadapi berbagai serangan dan gempuran bahasa kekerasan dan menggunakan kekuatan adalah yang lebih tepat. Berbicara toleransi dianggap sebagai sikap lemah dan mengibarkan bendera tanda menyerah. Padahal sebaliknya, toleransi merupakan salah satu unsur kekuatan yang terpenting dalam sepanjang sejarah peradaban Islam. Sikap toleran dapat mengubah lawan menjadi kawan, seperti disebut dalam firman Allah Q.s. fushshilat 34:

Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia”. (Q.s. fushshilat 34)    

Tulisan ini akan mengungkap sedikit tentang toleransi Islam dengan menunjuk kepada sejumlah informasi yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, serta beberapa fakta sejarah yang terjadi pada masa Rasulullah dan para Sahabatnya.


Makna Toleransi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, toleransi diartikan sebagai sifat atau sikap menenggang (menghargai, membirakan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Dalam bahasa Arab modern, toleransi disebut dengan al-tsaamuh atau al-samaahah. Berasal dari kata samaha yang maknanya berkisar pada; berbaik hati dan member secara dermawan dan dengan niat mulia; mudah; taat dan tunduk; kelapangan hati. Sikap keberagaman yang baik, dalam salah satu hadits Rasulullah SAW disebut al-haniiffiyyah al-samhah karena memberikan kemudahan dan tidak mempersulit.

Kata tasamuh atau samaahah dan derivasinya tidak ditemukan dalam Al-Qur’an. Sedangkan dalam hadits dapat ditemukan seperti dalam ungkapan “ismah yusmah laka” (permudahlah, niscaya Anda akan dipermudah), “al-samaah rabaah” (memudahkan dalam segala sesuatu akan menguntungkan pelakunya)1. Meski tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, makna toleransi seperti dikemukakan di atas dapat ditelusuri melaui kata kunci atau term yang terkait dengan itu seperti al-rahmah, al-‘afw dan al-shafhu.  

1.    Al-Rahmah

Terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf ra ha dan mim yang memiliki makna kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan. Dari kata tersebut terbentuk dua nama Allah yang teragung; al-Rahmaan dan al-Rahim. Kasih sayang (rahmah) jika berasal dari manusia, biasanya didahului oleh rasa kasihan, iba atau mungkin karena ingin mendapatkan sesuatu dari Allah, sebab rahmat Allah diturunkan kepada siapa pun, tanpa pilih kasih, apakah  dia itu kafir atau mukmin.

Kenabian atau diutusnya Rasulullah ke muka bumi ini pada hakikatnya adalah rahmat, sebab misinya adalah membawakan ajaran langit yang berisikan rahmat Allah kepada manusia. Allah berfirman: “Tidaklah Aku mengutus engkau (hai Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam” (Q.s. Al-Anbiyaa 107). Kehidupan yang diserukan oleh Nabi Muhammad SAW adalah kehidupan yang penuh kasih sayang. Perhatikan bagaimana komunitas yang diciptakan oleh beliau. Dalam Al-Qur’an komunitas tersebut digambarkan sebagai tegas terhadap orang kafir dan kasih sayang antar sesama (Q.s. Al-Fath 29). Kasih sayang antar mereka digambarkan dalam sebuah sabda Rasul SAW sebagai satu tubuh yang jika salah satu organnya sakit maka yang lainnya ikut merasakan.

2.    Al-‘Afw

Kata ini memiliki banyak makna dalam bahasa Arab, antara lain: 1) menghapuskan atau menggugurkan seperti pada firman-Nya: wa’fu ‘anna. Al-‘afw berarti maaf, karena memaafkan berarti menghapus luka yang ada di dalam hati; 2) banyak dan berlebihan seperti pada: hatta ‘afwa, yas ‘alunuunaka maadzaa yunfiquun quill ‘afw. Kata al-‘afw dengan berbagai derivasinya terulang dalam Al-Qur’an sebanyak 34 kali. Dari sekian banyak penggunaannya, tidak ditemukan satu ayat pun yang menganjurkan agar meminta maaf, tetapi yang ada adalah perintah memberi maaf. Perhatikan firman Allah:

Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (Q.s. Al-Nur 22)

3.    Al-Shafh

Kata ini dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak delapan kali dalam Al-Qur’an. Pada mulanya berarti lapang, lalu berkemabang menjadi kelapangan dada. Berjabat tangan disebut mushaafahah karena melakukannya menjadi perlambang kelapangan dada. Dari delapan penyebutannya, empat di antaranya didahului oleh perintah member maaf. Perhatikan ayat Q.s. Al-Nur 22 di atas.

Menurut Al-Ashfahani, al-shafhu (lapang dada) lebih tinggi kedudukannya dari al-‘afwa (maaf). Jika al-‘afwa itu berarti menghapus kesalahan dalam lembaran, maka al-shafhu berarti membuka lembaran baru. Pasti berbeda antara lembaran kertas yang didalamnya terdapat bekas hapusan, dengan lembaran baru. Lembaran kertas disebut shafhah, karena keluasan dan kelapangannya.

Dalam salah satu firman-Nya, Allah menyebut kata al-shafh berdampingan dengan salaam.

 “Maka berpalinglah dari mereka dan katakanlah ‘Salam (selamat tinggal)’”. (Q.s. Al-Zukhruf 89)

Melalui ayat di atas Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Muhammad, sebagai jawaban atas doa Nabi yang mengeluhkan kaumnya yang tidak beriman, “berlapang dadalah dalam menghadapi mereka dan hindari segala sesuatu yang menyakitkan dari mereka, serta katakan kepada mereka salam kedamaian untuk kalian”(ibnu Jarir, Tafsir al-Thabari 25/105). Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa sikap lapang dada akan melahirkan kedamaian, terutama bagi pelakunya, sebab telah hilang dari hatinya perasaan dendam dan keinginan untuk membalas yang hanya akan membuang energi.

Al-Qur’an juga mengajarkan, seorang mukmin sejati tidak perlu gusar dan marah menghadapi cemoohan atau kata-kata yang menyakitkan dari orang yang jail. Tetapi hendaknya samapaikan salam kedamaian kepadanya. Allah berfirman:

Adapun hamba-hamba tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan salam”. (Q.s. al-Furqan 63)

Ketika Nabi Ibrahim tidak berhasil meyakinkan bapaknya tentang akidah tauhid setelah berusaha keras dengan berdialog, ia pun memilih jalan damai dengan meninggalkan sang bapak sambil mengatakan:

Dia (Ibrahim) berkata, ‘Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku” (Q.s. Maryam 47)

Kata salaam berarti kedamaian atau perdamaian. Salah satu nama Allah yang terbaik (al-Asmaa al-Husnaa) adalah al-salaam. Allah adalah al-Salaam karena Dia Yang Maha Esa itu terhindar dari segala aib, kekurangan dan kepunahan yang dialami oleh para makhluk. Al-Salam dapat pula diartikan sebagai zat yang memiliki dan memberi keselamatan dan kedamaian. Dengan begitu, Allah selalu menebar keselamatan dan kedamaian kepada seluruh makhluk sehingga terhindar dari segala bentuk bahaya dan kezaliman. Ada pendapat lain yang mengatakan al-Salaam yang dinisbahkan kepada Allah itu berarti “yang memberi salam kepada hamba-hamba-Nya kelak di surga”. Pendapat ini sejalan dengan Firman-Nya dalam Q.s Yasin 58:

Salam sebagai ucapan dari Tuhan Yang Maha Pengasih kepada penghuni surga

Dalam doa yang selalu kita panjatkan, “Allahumma anta al-Salaam wa minka al-Salaam” (Allah adalah al-Salaam yang menjadi sumber keselamatan dan kedamaian). Tidak ada ucapan dan salam yang paling indah kecuali berasal dari Zat yang memiliki keselamatan dan kedamaian (fahayyinaa rabbanaa bi al-salaam), yang hanya dapat diperoleh dengan masuk ke dalam surga yang merupakan kampung kedamaian (wa adkhilnaa al-jannata darussalaam).     

Seorang Muslim, dalam hidupnya harus selalu berupaya meneladani sifat-sifat al-Salaam, seorang Muslim dituntut untuk menghindarkan hatinya dari segala aib dan kekurangan, dengki dan hasud serta berkehendak untuk berbuat kejahatan. Karena itu, dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda:

Seorang Muslim sejati adalah yang menghindarkan atau menyelamatkan Muslim lainnya dari kejahatan lisan dan tangannya”.

Dengan kata lain, seorang Muslim sejati adalah yang memberi rasa aman kepada orang lain dengan tidak menaykitinya melalui perkataan dan perbuatan. Seseorang yang meneladani sifat Allah, al-Salaam, paling tidak, bila tidak dapat memberi manfaat kepada selainnya, maka jangan sampai dia mencelakakannya. Kalau dia tidak dapat membuat orang lain bergembira, maka paling tidak ia tidak membuat orang lain resah. Dan kalau dia tidak dapat memuji orang lain, maka paling tidak dia tidak mencela atau mengejeknya.

Dalam kamus istilah-istilah ilmu sosial, Ahmad Zaki Badawi mendefinisikannya toleransi sebagai sikap yang menunjukkan kesiapan untuk menerima berbagai pandangan dan perilaku tanpa harus menyetujuinya2. Kesiapan itu dapat berupa komitmen dan penghormatan terhadap keyakinan, tradisi dan perasaan orang lain, terlepas dari perbedaan warna kulit, agama, ras, suku dan sebagainya. Deklarasi Sidang Umum UNESCO, 16/11/1995 pasal 1 menyebutkan toleransi adalah penghormatan, penghargaan dan penerimaan terhadap berbagai budaya dunia dan bentuk-bentuk ekspresi serta sifat-sifat kemanusiaan3.

Dalam konteks masyarakat modern yang sangat beragam, toleransi menjadi kata kunci dalam membangun hubungan antara individu dan kelompok agar tercipta kehidupan yang harmonis dan penuh kedamaian.


Apresiasi Islam Terhadap Toleransi

Al-Qur’an dan hadis memberikan apresiasi tinggi terhadap sikap toleran, antara lain:

1.    Allah menyiapkan balasan berupa ampunan dan surga bagi yang menahan amarah dan memaafkan orang lain.

Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan”. (Q.s. Ali Imran 133-134).

2.    Toleransi merupakan akhlak terbaik penghuni dunia dan akhirat.

Maukah kalian aku tunjukkan akhlak penghuni dunia dan akhirat? (Yaitu) siapa yang memaafkan orang yang menzaliminya, memberi kepada orang yang pernah memboikotnya, dan menyambung silaturahim kepada yang memutusnya” (Mushannaf Ibn Abi Syaibah, 7/238).

3.    Orang yang bersikap kasih akan dikasihi oleh Allah.

Orang-orang yang mengasihi akan disayang oleh Dzat Yang Maha Pengasih. Sayangilah yang di bumi kalian akan disayang yang di langit”. (HR. Al-Tirmidzi 4/324).

4.    Toleransi merupakan bentuk lain dari sedekah.

Rasulullah memuji dan meminta setiap Muslim untuk meniru sikap Abi Dhamdham yag setiap pagi selalu berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku telah bersedekah dengan kehormatanku (jika mendapat cemoohan, cibiran dan hal negatif lainnya) kepada hamba-hamba Mu yang menyakitiku”. (HR. Abu Daud 4/272).

5.    Toleransi jalan menuju surga.

Seseorang masuk surga karena sikap toleran” (Musnad Ahmad 11/550).

6.    Sikap keberagamaan yang toleran, memudahkan dan tidak mempersulit adalah yang paling dicintai oleh Allah SWT.

Agama (atau sikap hidup keberagamaan) yang paling disukai oleh Allah adalah yang lurus, memudahkan dan tidak mempersulit”. (HR. Al-Bukhari 1/16).




Toleransi Sebagai Kewajiban Agama dan Kebutuhan Hidup

Toleransi Islam dibangun di atas Islamic worldview, pandangan dunia Islam terhadap alam semesta. Dalam filsafat Islam kita mengenal ada al-haqq, yaitu Allah SWT dan ada al-khalq yang mencakup semua makhluk/ciptaan. Ada yang wajib al-wujuud (wajib adanya) dan ada yang wujuud, yaitu yang diciptakan oleh waajib al-wujuud. Al-Haqq dan waajib al-wujuud bersifat tunggal dan Esa, sedangkan seluruh al-khalq (ciptaan/makhluk); benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia, pemikiran dan lainnya yang selain Allah beragam.

Keragaman alam semesta ciptaan Allah dapat dilihat dari beberapa petunjuk Al-Qur’an berikut:

1.    Keragaman tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, hewan, gunung dan lain sebagainya.

Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menurunkan air dari langit lalu dengan air itu Kami hasilkan buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun”. (Q.s. Fathir 27-28).

Dan Dialah yang menjadikan tanaman-tanaman yang merambat dan yang tidak merambat, pohon kurma, tanaman yang beraneka ragam rasanya, yaitu zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak serupa (rasanya)”. (Q.s. Al-An’am 141).   

2.    Keragaman suku, bangsa, bahasa, warna kulit.

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti”. (Q.s. Al-Hujurat 13).

Dan diantara tanda-tanda (kebesaran) Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang-orang yang mengetahui” (Q.s. Al-Rum 22).

3.    Keragaman agama dan pandangan keagamaan.

Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan”. (Q.s. Al-Maidah 48).

Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat), kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah meciptakan mereka”. (Q.s. hud 118-119).

Keragaman agama, budaya dan peradaban merupakan ‘illat (sebab) penciptaan (walidzaalika khalaqahum), dalam artian manusia diciptakan untuk berbeda. Oleh karenanya, tanpa toleransi tidak akan tercipta keharmonisan dalam keragaman.  

Atas dasar itu, keragaman dan perbedaan merupakan sebuah ketetapan Allah di alam semesta yang selamanya tidak pernah berubah. Keragaman tersebut menurut adanya hubungan yang harmonis dan saling mengenal antara pihak-pihak yang berbeda. Di sinilah sikap toleran menjadi penting dalam membangun hubungan antara kelompok manusia, budaya, peradaban, aliran/mazhab, agama, syariat, ras, suku bangsa, warna kulit, bahasa, kebangsaan dan sebagainya. Tanpa itu kehidupan akan dipenuhi perseteruan dan permusuhan serta saling menafikan satu dengan lainnya.

Oleh karena itu tidak berlebihan jika dikatakan toleransi sebagai kebutuhan/keharusan dalam hidup (dharuurah hayaatiyyah), salain sebagai kewajiban agama (fariidhah diniyyah) seperti dijelaskan pada ayat-ayat dan hadis di atas. Dalam pandangan Islam, toleransi bukanlah pemberian dari orang atau kelompok yang kuat kepada yang lemah, tetapi sebuah nilai esensial yang diajarkan Islam dan menjadi cirri yang melekat dari ajaran Islam.

Berangkat dari sikap Al-Qur’an yang menjadikan keragaman dan perbedaan sebagai ketetapan Allah (sunnatullah) di alam semesta, maka keadilan dan obyektifitas yang merupakan tolak ukur sikap Al-Qur’an, menjadi landasan dalam bersikap terhadap orang lain yang berbeda, bahkan jug kepada diri sendiri. Dalam rangka mewujudkan toleransi berkeadilan itu Al-Qur’an meminta kepada kita untuk bersikap adil dan obyektif dalam melihat atau bersikap kepada:

1.    Diri Sendiri;

Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu”. (Q.s. Al-Nisaa’ 135).

Orang yang tidak kita senangi. Kebencian terhadap seseorang tidak seharusnya menjadi penghambat untuk berlaku adil kepadanya.

Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk tidak berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa”. (Al-Maidah 8).

2.    Yang memusuhi, menyakiti dan memerangi;

barangsiapa menyerang kamu, maka seranglah dia setimpal dengan serangannya terhadap kamu (Q.s. Al-Baqarah 194).

Dalam membalas kejahatan mereka Al-Qur’an mengajarkan untuk melakukan yang setimpal, sambil menawarkan opsi lain yang terbaik, yaitu bersabar.

Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang bersabar”. (Q.s. Al-Nahl 126).

3.    Yang berbeda agama atau paham keagamaan, dengan tidak melakukan generalisasi.

Mereka itu tidak (seluruhnya) sama. Di antara Ahli Kitab ada golongan yang jujur, mereka membaca ayat-ayat Allah pada malam hari, dan mereka (juga) bersujud (salat). Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar dan bersegera (mengerjakan) berbagai kebajikan. Mereka termasuk orang-orang saleh”. (Q.s. Ali Imran 113-114).

Tuntutan berbuat adil dan objektif dalam memandang orang lain Karen Allah adalah Tuhan seluruh umat manusia dan alam semesta, yang telah memuliakan seluruh umat manusia (bani Adam) tanpa melihat perbedaan agama, warna kulit, ras, bahasa dan lainnya (Q.s. Al-Isra 70). Semua manusia berasal dari satu bapak dan ibu; Adam dan Hawa.


Bentuk Toleransi Islam

Sikap toleran dan menghargai tidak hanya berlaku terhadap orang lain, tetapi juga kepada diri sendiri. Bahkan sikap toleran harus dimulai dari diri sendiri. Ketika mendapati salah seorang sahabat yang berazam/berketetapan hati untuk selalu berpuasa di siang hari dan beribadah di malam tanpa henti, Rasulullah mengingatkan agar ia memperhatikan dirinya dan memberinya hak yang proporsional.

Sesungguhnya tubuhmu punya hak (untuk kamu istirahatkan), matamu punya hak (untuk dipejamkan), dan isterimu juga punya hak (untuk dinafkahkan)”. (HR. Al-Bukhari 3/39)

Terhadap mereka yang berbeda agama dan keyakinan Al-Qur’an menetapkan prinsip tidak ada paksa dalam beragama (Q.s. Al-Baqarah 256), sebab kebebasan beragama merupakan bagian dari penghormatan terhadap hak-hak manusia yang sangat mendasar. Tugas seorang Nabi, demikian juga seorang da’i, hanyalah menyampaikan risalah, bukan untuk memaksa dan menguasai. Oleh karenanya, tidak boleh ada seorang manusia yang dizalimi, ditindas dan direnggut kebebasannya.

Pesan Al-Qur’an untuk tidak memaksa seseorang masuk Islam dipahami betul oleh Umar Bin Khattab saat menjadi Khalifah. Ketika datang seorang perempuan tua yang beragama Kristen meminta bantuan kepadanya. Umar berkata, “masuklah Islam, engkau akan merasa aman dan damai. Sesungguhnya Allah telah mengutus Nabi Muhammad untuk menyampaikan kebenaran”. Perempuan itu berkata, “Aku sudah lanjut usia, dan sudah mendekati mati”. Sebuah ungkapan yang menunjukkan bahwa dia tidak mau menuruti permintaan Umar. Meski demikian, Umar tetap membantunya. Setelah perempuan itu pergi, khawatir ajakannya tadi bernuansa paksaan untuk masuk Islam, Umar pun beristigfar mohon ampunan kepada Allah seraya berkata, “Ya Allah, saya hanya sekadar memberinya petunjuk, dan tidak memaksa”.

Dalam literatur fiqih Islam, pernah terjadi perdebatan seru antara para ulama tentang seorang suami Muslim yang mengajak istrinya yang non muslim untuk masuk Islam. Menurut Imam Syafi’I, suami Muslim tidak noleh membuka pembicaraan tentang itu kepada isterinya, an tidak boleh diajukan kepada kepadanya untuk berislam. Bahkan sebagian ahli fiqih berpendapat, suami tersebut tidak boleh menghalangi sang isteri untuk beribadah sesuai keyakinannya. Sebagian lagi berpandangan, suami harus mau mengantar isterinya beribadah ke gereja atau rumah ibadah lainnya (Al-Houfi, Tsaqaafat al-tasaamuh, h.53).

Dalam pergaulan dengan mereka yang berbeda adama dan keyakinan, Al-Qur’an menetapkan rambu-rambu, yaitu tidak ada larangan untuk bergaul dan bekerjasama dalam kerangka kebaikan dan keadilan selama mereka tidak memusuhi, memerangi secara terang-terangan dan tidak mengusir umat Islam dari negerinya. Allah berfirman:

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah hanya menarang kamu menjadikan mereka kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim”. (Al-Mumtahanah 8-9).

Kepada ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), selain dituntut berlaku adil dan objektif, sekiranya terjadi dialog dan debat dengan mereka, kita diperintahkan oleh Al-Qur’an melakukannya dengan cara yang terbaik.

Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab. Melainkan dengan cara yang terbaik”. (Q.s. Al-Ankabut 46).    

Kepada orang musyrik; penyembah berhala, api dan lainnya, umat Islam jug diperintahkan untuk memberikan perlindungan dan keamanan jika mereka meminta bantuan, bahkan berkewajiban untuk mengantarkannya sampai ke tempat yang betul-betul ia merasa aman. Allah berfirman:

Dan jika diantara kaum musyrikin ada yang meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah agar dia dapat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya. (Demikian) itu karena sesungguhnya mereka kaum yang tidak mengetahui”. (Q.s. Al-Taubah 6).

Toleransi Islam bukan hanya berlaku dalam situasi damai. Dalam situasi perang dan bentrokan bersenjata, bila pihak lawan menginginkan damai maka keinginan tersebut harus disambut dengan tangan terbuka. Allah berfirman:

Tetapi jika mereka condong kepada perdamaian, maka terimalah dan bertawakallah kepada Alllah. Sungguh, Dia Maha mendengar, Maha Mengetahui”. (Q.s. Al-Anfal 61).

Jalan damai didahulukan karena memang pernang dalam Islam lebih bersifat difensif ketimbang ofensif. Perang dalam Islam bukan untuk memperturuti hawa nafsu atau merebut kekuasaan, tetapi untuk membela diri. Perhatikan ayat yang pertama kali turun memperkenankan umat Islam untuk berperang pada tahun ke-2 hijriah. Izin diberikan karena mereka diserang, dan perlawanan dilakukan antara lain untuk melindungi rumah-rumah ibadah dari kerusakan dan kehancuran (Q.s. Al-Hajj 39-40).

Selain terhadap ahlul kitab dan orang musyrik yang berbeda keyakinan, sikap toleran juga diunjukkan kepada orang yang keluar dari agama Islam (murtadd). Mereka tidak boleh dipaksa untuk bertahan dalam Islam, tetapi ada sebuah proses dialog yang persuasif melalui mekanisme yang disebut dengan istitaabah (permohonan bertobat/kembali). Banyak ulama menyebut masa tersebut adalah tiga hari. Menurut Imam Ali, masa istitaabah satu bulan lamanya, dan menurut Imam al-Nakhai, masa istitaabah berlaku sepanjang masa, tidak ada batasnya.

Bentuk lain dari toleransi Islam yang terkait kebebasan beragama adalah tidak cepat-cepat menghukumi kafir kepada orang yang masih menyisakan sedikit celah untuk disebut sebagai muslim. Imam Malik, seperti Sayyid Sabiq, mengatakan,

Orang yang perbuatan dan pernyataannya mengarah kepada kekufuran dari sembilan puluh Sembilan arah, tetapi masih menyisakan keimanan walau dari satu arah, maka dihukumi sebagai beriman”(Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 2/454).



Toleransi Dalam Kehidupan Nabi

Kehidupan Rasulullah merupakan contoh kongkrit dari ajaran Al-Qur’an. Kepribadiaan beliau mencerminkan akhlak Al-Qur’an yang sangat mulia, dan memang untuk itu beliau diutus. Tugas tersebut telah dilaksanakan dengan sangat baik, dan bisa kita lihat dalam berbagai literatur hadis dan sejarah yang berisikan perkataan dan sikap Rasulullah.

Terkait dengan toleransi, Rasulullah mengajarkan umatnya untuk selalu bersikap toleran dalam segala hal, baik kepada sesama muslim maupun kepada yang bukan muslim. Di tangan Rasulullah Islam datang untuk menjadi agama kasih yang memudahkan orang, bukan menyulitkan. Perhatikanlah bagaimana beliau menyikapi seorang badui yang terkenal keras watak dan terbelakang ketika datang ke masjid dan kencing di situ. Serentak semua orang memarahinya, tetapi Rasulullah justru membiarkannya dan mengatakan kepada para sahabatnya, fa innamaa bu’itstum muyassiriin wa lam tub’abtsuu mu’assiriin (kalian diutus untuk memberikan kemudahan, bukan untuk menyulitkan).

Ketika ditanya tentang agama atau sikap keberagamaan yang paling dicintai Allah, beliau menjawab, “Itulah agama yang memberikan kemudahan, bukan kesulitan (al-haniiyyah al-samhah)” (HR. Ahmad). Berdasarkan hadis ini, Imam Syafi’I merumuskan sebuah kaidah “kesulitan mendatangkan kemudahan” (al-masyaqqatu tajlibu al-taysir) dan kaidah “ketika suatu urusan menyempit/sulit maka terbuka/meluas pilihan hukum yang lain” (idzaa dhaaqa al-amru ittasa)(Al-Munawi, Fayadh al-Qadiir, 2/572).

Rasulullah bersifat pengasih dan pemaaf kepada semua orang, termasuk yang pernah meyakitinya. Ketika kota Mekkah berhasil dikuasai oleh kaum Muslimin pada tahun ke-8 Hijriah melalui sebuah peristiwa yang disebut fathu Makkah, tidak ada sedikit pun dalam hatinya tersimpan rasa dendam kepada tokoh-tokoh kafir Mekkah yang pernah menyakitinya, berusaha membunuhnya, bahkan ‘mengusir’nya sampai ia dan para sahabatnya berhijrah ke Madinah. Jika kebiasaan para penguasa setelah menduduki dan menguasai sebuah negeri mengankap dan menawan musuh-musuhnya, tidak begitu dengan Rasulullah. Beliau justru mengatakan, idzhabuu antum al-thulaqaa (pergilah, kalian adalah orang-orang yang bebas). Terhadap para tawanan perang, beliau tidak menyiksa, membunuh atau memperbudaknya. Setiap tawanan diminta mengajarkan baca tulis kepada setiap sepuluh anak-anak kaum muslimin sebagai tebusan, yang dengan itu kemudian ia bebas.

Sikap toleran Rasulullah terhadap mereka yang berbeda adama dan keyakinan dapat dilihat dari pengakuan terhadap ajaran sebelumnya. Dalam pandangan beliau, nabi-nabi utusan Allah itu adalah seperti bersaudara satu bapak lain ibu (ikhwatun min ‘allaat), agmanya satu tetapi syariatnya beragam. Pernyataan tersebut beliau sampaikan melanjutkan pernyataan sebelumnya bahwa beliau adalah orang yang berhak menghormati Nabi Isa di dunia dan akhirat (HR. Muslim).

Begitu juga terhadap Nabi Musa yang sangat diagungkan oleh umat Yahudi. Beliau sangat memuliakannya dan sebagian ajarannya. Ketika datang ke Madinnah, Rasulullah mendapati orang-orang Yahudi yang ada di sana berpuasa pada tanggal 10 Muharram (‘asyura). Setelah mendapatkan penjelasan bahwa mereka berpuasa mengikuti tradisi Nabi Musa sebagai ungkapan rasa syukur atas diselamatkannya Nabi Musa dan bani Israil dari kejaran Fir’aun yang berakhir dengan tenggelamnya Fir’aun dan bala tentaranya di Laut Merah, beliau berkata, “kami lebih berhak untuk menghormati Nabi Musa dari pada kalian”. Beliapun berpuasa, dan menganjurkan kepada umatnya untuk berpuasa di hari itu.

Berangkat dari paengakuan dan penghormatan terhadap nabi-nabi terdahulu, Rasulullah memualiakan para penganut agama-agama lain. Terhadap kelompok Yahudi yang telah lebih dahulu mendominasi kota Madinah, beliau membuat perjanjian dan kesepakatan untuk hidup rukun dan harmonis yang dituangkan dalam piagam Madinah. Piagam itu dapat disebut sebagai konstitusi Negara Madinah. Dari 52 pasal yang ada dalam konstitusi tersebut, pembicaraan tentang Yahudi terdapat dalam 14 pasal, yang menganggap mereka sebagai bagian dari warga masyarakat, sehingga berhak mendapat hak-hak mereka secara penuh sebagai warganegara. Di situ dinyatakan antara lain, “Kelompok Yahudi adalah sebuah komunitas  (ummah) yang hidup bersama kaum Muslimin. Masing- masing menganut agamanya tersendiri. Orang-orang Yahudi dan kaum Muslimin berhak untuk mendapatkan nafkah. Jika diantara mereka ada yang diserang atau diperangi maka yang lain berkewajiban membantu. Hendaknya di antara mereka yang akan merugikan semua pihak, maka keputusan terakhir ada di tangan Nabi Muhammad ……. dan seterusnya”. (Al-Qawl al-Mubin fi Sirat Sayyidi al-Mursalin, h.197).

Hal yang sama dilakukan kepada penganut Kristen. Ketika datang utusan kelompok Kristen dari Najran di Yaman pada 10 H/631 menghadap beliau di Madinah, dan tiba saat melakukan peribadatan, mereka diperkenankan melakukannya di Masjid Nabawi. Setelah menyatakan tunduk kepada kekuasaan Islam, bersam mereka Rasulullah membuat perjanjian sebagai berikut:

Najran dan daerah sekitarnya adalah tetangga Allah. Jiwa, agama, tanah air, harta, seluruh penduduknya, keluarga dan rumah-rumah ibadah mereka berada di bawah tanggung jawab Nabi Muhammad. Mereka tidak boleh dirubah dari keadaan mereka semula. Demikian pula hak dan agama mereka tidak boleh diganti. Para pendeta mereka tidak boleh dicabut kependetaannya. Negeri mereka tidak boleh dibiarkan diserang oleh pasukan tentara. Jika masih ada praktik riba yang sebelumnya telah berlangsung, saya (Nabi Muhammad) tidak bertanggungjawab atas itu. Perjanjian ini berlaku selamanya, selama mereka masih berkomitmen dan memiliki niat baik” (Al-bayhaqi, Dalaail al-Nubuwwah 6/154).     

Selain komunitas Yahudi di Madinah dan Kristen di Yaman (Najran dan sekitarnya), di Madinah juga terdapat kelompok yang selalu merongrong kekuatan umat Islam, tetapi secara lahir mereka menyatakan sebagai bagian dari umat Islam. Mereka ibarat duri dalam daging, atau orang yang menggunting dalam lipatan. Itulah kelompk munafik. Jumlah mereka sangat banyak. Menurut sebagian riwayat, mencapai tidak kurang dari 300 orang. Rasulullah tahu persis kelakuan mereka ysng selalu berpura-pura, sebab Allah selalu membuka kedok mereka melalui wahyu yang diturunkan-Nya. Oleh karena itu dalam Al-Qur’an ditemukan banyak sekali pembicaraan tentang orang munafik. Bahkan terdapat satu surat khusus yang diberi nama al-munaafiqiin, yang jumlah ayatnya jauh lebih banyak dari surat al-kaafiruun.

Rasulullah hanya bersikap hati-hati terhadap mereka yang selalu merongrong kekuatan umat Islam, dan tidak membunuh mereka. Padahal di antara sahabatnya, seperti Umar, berkeinginan untuk membunuh karena kelakuan mereka yang sudah keterlaluan. Rasulullah mencegahnya dan berkata, “biarkan, saya tidak ingin orang berkata Muhammad telah membunuh sahabat-sahabatnya” (HR. Al Bukhari)

Terhadap orang murtad yang keluar dari agma Islam Nabi juga tidak menghukum mereka, kecuali dalam kasus yang disertai dengan hiraabah/gangguan terhadap stabilitas keamanan dengan menggunakan senjata/kekerasan, seperti yang terjadi dengan sekelompok orang yang merampas onta yang diperuntukkan sedekah (harta milik Negara), dan membunuh anak-anak penggembala onta (aparat Negara). Riddah jika menjadi pilihan pribadi itu bagian dari kebebasan beragama, ‘disembuhkan’ dengan hiwar (dialog). Di sini berlaku istitaabah seperti telah dijelaskan terdahulu. Jika disertai gangguan keamanan maka berlaku had al-hiraabah (pidana hiraabah) seperti dalam Q.s. Al-Maidah 33-34. Dalam kitab-kitab fiqih, pembahasan hukum riddah terdapat dalam kitab al-hiraabah.

Demikian beberapa contoh keteladanan toleransi dalam kehidupan Nabi yang diperlihatkan kepada sesama Muslim dan juga kepada orang yang berbeda keyakinan; Yahudi, Kristen, musyrik, munafik an yang murtad.



Toleransi Islam Pada Masa Sahabat

Sebagai orang-orang yang terdekat dengan Nabi, para Sahabat selalu berusaha meneladani beliau dalam segala hal, termasuk toleransi. Saat terjadi perluasan wilayah kekuasaan Islam ke beberapa wilayah sekitar, penduduk negeri yang dikuasai dibiarkan hidup bebas menganut agama dan keyakinan semula. Kepada panglima pasukan yang dikirim, para Khalifah selalu berpesan agar tidak mengganggu kehidupan beragama penduduk setempat.

Perhatikan wasiat Abu Bakar kepada Usamah bin Zaid, panglima pasukan ke Syam: “Kamu akan mendapatkan sekelompok orang yang mendermabaktikan dirinya untuk beribadah kepada Allah sesuai keyakinannya. Biarkan mereka dan jangan ganggu keyakinan mereka. Jangan bunuh perempuan, anak-anak dan orang yang lanjut usia. Jangan kau bunuh kambing dan onta kecuali untuk dimakan. Jangan bakar pohon kurma dan jangan tenggelamkan. Jangan bersikap culas terhadap harta rampasan dan jangan jadi pengecut”(Muwaththa’ Imam Malik 3/636).

Demikian pula yang dilakukan Umara bin Khattab ketika berhasil merebut dan membebaskan kota Yerussalem dari Imperialisme Romawi pada tahun 15 H/635 M. Umar membuat perjanjian dengan penduduk setempat yang berisikan jaminan keamanan untuk mereka. Jiwa, harta, gereja, salib dan semua agama yang ada disitu mendapat perlindungan dari Umar. Gereja-gereja mereka tidak boleh diduduki dan dihancurkan. Mereka juga tidak boleh dipaksa untuk meninggalkan agama mereka (Tarikh al-Thabari 3/609). Kekhawatiran gereja akan dirubah menjadi masjid mendasari Umar tidak melakukan shalat di dalam sebuah gereja di Yerussalem ketika waktu shalat tiba dan pendeta memperkenankan shalat di situ. Umar khawatir umat Islam sepeninggalnya akan menjadikan gereja tersebut sebagai masjid hanya karena Umar pernah shalat di situ.

Hal yang sama berlaku terhadap Majusi penyembah api yang banyak tinggal di Persia. Berdasarkan masukan saran tim 70 (majlis syura) Umar RA memberikan kepada penganut Majusi hak-hak seperti yang diterima oleh Ahli Kitab. Ini sesuai sabda Rasulullah yang menyatakan, “perlakukan mereka (Majusi) seperti perlakuan ahlul kitab” (sannuu sunnata ahli al-kitaab)(Muwaththa Imam Malik 2/395).

Amru bin Ash, panglima pasukan Islam yang berhasil menaklukkan Mesir, dialah yang mengembalikan Petrick Mesir, Bunyamin (39 H/659 M), ke tengah umatnya di Mesir setelah 13 tahun lari dari kejaran Romawi dan memberikannya kebebasan dalam beragama. Bahkan dia membebaskan gereja-gereja dari kekuasaan Romawi, bukan untuk diubah menjadi masjid, tetapi untuk dikembalikan kepada mereka sebagai tempat ibadah mereka.

Oleh karena itu jangan heran, jika setelah satu abad Mesir, Persia dan Syam dikuasai oleh kaum Muslimin, penduduknya yang masuk Islam hanya sekitar 20%. Islam melindungi mereka dari Romawi, demi kebebasan beragama. Sampai abad ke-10 M, tiga abad setelah kekuasaan Islam masuk, rumah-rumah ibadah para penyembah api tetap berdiri tegak di Irak, Persia, Kirman, Sijistan, Khurasan dan Adzerbaijan. Hampir tidak ada kota di Persia yag di situ tidak ada rumah ibadah penyembah api (Al-Houfi, Samaahat al-Islam, h.189).

Di bawah kekuasaan Islam para penganut agama-agama selain Islam mendapatkan keamanan, kenyamanan dan kedamaian. Banyak di antara mereka yang menduduki jabatan strategis dalam pemerintahan pada masa dinasti Bani Umayyah dan Abbasiyah. Sir Thomas Arnold pernah mendata nama-nama menteri, gubernur dan dokter kepercayaan para Khalifah, dan berkesimpulan, “Orang-orang Kristen mendapat kekayaan yang luar biasa dan menggapai kesuksesan di masa awal Islam berkat kebebasan beragama dan kepemilikan yang di jamin oleh Islam. Sampai-sampai banyak di antara mereka memiliki kedudukan penting di istana para Khalifah (Al-Houfi, Samaahat al-Islam, h. 193).

Demikian sekelumit tentang toleransi dalam Islam yang dapat disimpulkan dari beberapa petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah. Wallahua’alam.             
    
     
*Istiqlal, 5 Oktober 2012

1Ibn al-Atsir, Al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, 2/398
2Ahmad Zaki Badawi, Mu’jam Mushthalahaat al-Uluum al-ijtimaaiyyah, Beirut: Maktabat Lubnan, 1982
3Rusydi Ahmad Thuaimah, Tsaqaafat al-Tasaamuh fi Dhaw’l al-Tarbiyah wa al-Diin, Kairo: Dar al-Fikr al Arabi, h. 19


Enhanced by Zemanta

MAKALAH PERDAMAIAN DALAM AL-QUR'AN SURAT AL-HUJURAT AYAT 9-10


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang merupakan Mu’jizat Nabi Muhammad SAW. di dalam Al-Qur’an sudah mencakup semua aspek kehidupan manusia, sebagai kalam Ilahi, Al-Qur’an memiliki kandungan yang sangat menakjubkan, baik dari segi teks yang tersurat ataupun makna yang tersirat, penggalian maknda dengan cara menafsirkan dan mentakwilkan Al-Qur’an oleh para mufassirin ditujukan untuk menemukan kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang terdapat dalam Al-Qur’an, itupun masih bersifat relatif karena keterbatasan manusia.
Manusia tak dapat hidup sendiri, ia adalah mahluk sosial, oleh karena itu perlu bergaul dengan orang lain yakni hidup bermasyarakat. Selain itu, hubungan silaturahmi sangat dianjurkan agar persaudaraan dan hubungan baik terjalin, demikian juga tentang pergaulan antar sesama manusia haruslah mengindahkan aturan-aturan yang sudah dijelaskan dalam Islam.Karena Islam merupakan agama terakhir dan penyempurna agama-agama terdahulu, maka bisa difahami bahwa Islam mengandung ajaran yang paling lengkap dan sempurna, Islam sangat rinci mengatur kehidupan umatnya.
Beranjak dari hal tersebut maka penulis ingin mengulas penafsiran QS. Al-Hujurat ayat 9-10, dimana didalamnya mengatur mengenai perdamaian antara dua kelompok mukmin.
B.     Rumusan Masalah
1.       Bagaimana penafsiran QS. Al-Hujurat ayat 9-10?
2.       Apa Ibrah yang disampaikan dalam QS. Al-Hujurat ayat 9-10?



BAB II
PEMBAHASAN
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَأَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِيْ تَبْغِيْ حَتَّى تَفِيْءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوْا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ (٩) إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوْا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ (١٠)
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil. Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 9-10)
A.    Tafsir Kata
-          In bermakna jika, menunjukkan bahwa pertikaian antara mukmin jarang terjadi.
-          Iqtatalu terambil dari kata qatala yang berarti membunuh, berkelahi, atau mengutuk.
-          Thâifatâni: dua kelompok
-          ash-lihũ terambil dari kata ashlaha asalnya adalah shaluha. Antonim dari kata fasada (rusak) yang berarti (manfa’ah). Berarti ash-lihũ bermakna perintah untuk mendatangkan manfa’at atau melakukan perbaikan; tentunya hubungan antara yang bertikai.
-          Baghat terambil dari kata baghâ pada dasarnya berarti kehendak, namun berkembang pada makna melampaui batas.
-          al-Muqshithîn terambil dari kata qisth yang biasanya diartikan dengan kata ‘adl. Namun ada yang mengartikannya  bahwa qisht adalah keadilan yang diterapkan kepada dua belah pihak sementara ‘adl menempatkan sesuatu pada tempatnya walau tidak menyenangkan satu belah pihak.
B.     Asbabun Nuzul
Al-Bukhari berkata: Musaddad menceritakan kepada kami; Mu’tamir menceritakan kepada kami, ia berkata: aku mendengar ayahku bahwa Anas r.a berkata: “Ada yang berkata kepada Nabi saw. ‘Sekiranya engkau mendatangi ‘Abdullah bin Ubay,’ Nabi saw. lalu bertolak kepadanya dengan mengendarai keledai dan kaum Muslimin juga bertolak berjalan bersama beliau di sebuah tanah lembab dan asin (yang tidak dapat digarap). Tatkala Nabi saw. mendatanginya, ia (‘Abdullah bin Ubay) berkata, ‘Menjauhlah dariku, demi Allah bau busuk keledaimu telah menggangguku.” Maka salah seorang Anshar dari mereka berkata, ‘Demi Allah, sungguh keledai Rasulullah saw lebih harum baunya daripada kamu.’ Lalu salah seorang dari kaumnya marah untuk (membela) ‘Abdullah, sehingga keduanya saling mencaci dan diikuti oleh kemarahan para sahabat kedua orang itu. Sehingga terjadi saling pukul antara keduanya dengan pelepah kurma, sandal dan tangan. Kemudian sampailah (berita) kepada kami bahwa telah turun ayat: ‘Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara kedunya.’[1][1]
C.    Munasabah Ayat
Ayat 9 ini memiliki munasabah dengan ayat sebelumnya, yaitu ayat ke 8  dimana Allah memperingatkan kepada orang-orang Mu’min supaya waspada dalam menerima berita yang disampaikan oleh orang fasiq, maka Allah swt. Menerangkan pada ayat ke 9, tentang apa yang bisa saja terjadi akibat berita seperti ini. Seperti pertengkarangan antara dua kelompok yang kadang-kadang akhirnya menyebabkan peperangan.
Dan pada ayat ke 10, Allah memperkuat dengan menjelaskan bahwa sesungguhnya mu’min itu bersaudara dan harus saling meperbaiki hubungan satu sama lain. Ayat ini memiliki munasabah dengan ayat yang ke 11 dan 12, dimana Allah memberikan langkah-langkah untuk menghindari pertikaian/pertengkaran. Misal, dalam dua ayat tersebut, Allah Swt. melarang beberapa sikap yang dapat memicu pertikaian, seperti saling mengolok-olok dan mencela orang lain, panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk (QS al-Hujurat [49]: 11); banyak berprasangka, mencari-cari kesalahan orang lain, dan menggunjing saudaranya (QS al-Hujurat [49]: 12). ayat tersebut juga Mendidik orang-orang Mu’min dengan kesopanan-kesopanan, yang jika mereka pegang teguh, maka akan langgenglah rasa cinta dan persatuan sesama mereka.
D.    Tafsir Ayat
Ayat ini dengan jelas menerangkan bahwa kalau dua golongan kaum mukmin bersengketa hingga menimbulkan perang, maka kewajiban bagi orang Islam untuk mendamaikan dengan segera kedua golongan yang berperang itu.[2][2] Dengan demikian, maka perdamaian merupakan tujuan dalam Islam. Bukankah makna Islam adalah damai?
Hal ini juga terlihat dari penjelasan Prof. Hasbi ash-Shiddieqy bahwa: “Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bagaimana para mukmin mendamaikan dua golongan yang bersengketa dan menyuruh para mukmin memerangi golongan yang kembali membuat aniaya (zalim) sesudah diadakan perdamaian, sehingga dengan demikian mereka bisa kembali kepada perdamaian yang mereka langgar. Perdamaian, sebagaimana wajib kita lakukan antara dua golongan yang bermusuhan, begitu pula antara dua orang bersaudara yang bersengketa. Pada akhirnya Allah menyuruh kita bertaqwa kepada-Nya dan mengakui hukum-Nya.”[3][3]
Ternyata, perintah mendamaikan antara yang bertikai tak semata mendamaikan kedua kelompok mukmin saja. Kata ikhwah dalam al-Qur’an yang hanya terulang tujuh kali dalam al-Qur’an ternyata berbeda maknanya dengan kata ikhwah dalam al-Hujurât ini. “Hal ini agaknya untuk mengisyaratkan bahwa persaudaraan yang terjalin antara sesama Muslim, adalah persaudaraan yang dasarnya berganda. Sekali atas dasar persamaan iman, dan kali ke-dua adalah persaudaraan seketurunan, walaupun yang kedua ini bukan dalam pengertian yang hakiki. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk memutuskan hubungan persaudaraan itu”.[4][4]
Adapun penggunaan bentuk dual pada kata akhawaikum di sini memberi arti bahwa jangankan antara banyak orang, dua pun, jika mereka berselisih harus di-ishlâh-kan. Sehingga harmonislah hubungan mereka. Oleh karena semua dipandang bersaudara, maka “damaikanlah di antara saudara-sauramu yang se-agama itu, sebagaimana kamu mendamaikan saudaramu yang seketurunan”.[5][5] Quraish Shihab menutup tafsirannya terhadap ayat ini dengan penekanan bahwa Islam jelas-jelas menuntut terbentuknya kesatuan dan kesatuan, bukan sebaliknya. Problem jika ada yang mengkhianati, maka perangilah, namun dengan tujuan agar mereka kembali, bukan membasmi apalagi melakukan pelanggaran-pelanggaran berat yang sering terjadi dalam peperangan seperti genosida dan sebagainya. Islam memiliki ketentuan-ketentuan hukum dalam hal ini.
Sedangkan dalam ayat ke 10 adalah Implikasi dari persaudaraan ini ialah hendaknya rasa cinta, perdamaian, kerja sama dan persatuan menjadi landasan utama masyarakat muslim. Hendaklah perselisihan atau perang merupakan anomali yang mesti dikembaikan kepada landasan trsebut begitu suatu kasus terjadi. Dibolehkan memerangi kaum mukmin lain yang bertindak zalim kepada saudaranya agar mereka kembali kepaa barisan muslim. Juga agar mereka melenyapkan anomali itu berdasarkan prinsip dan kaidah Islam. Itulah penanganan yang tegas dan tepat.
E.     Ibrah Ayat
Ibrah yang Al-Qur’an sampaikan pada ayat-ayat ini, secara umum mengatur, serta membimbing hubungan sosial antar sesama manusia, khususnya umat Islam. Di mana pada ayat ini Allah menegaskan seorang mu’min hendaklah memiliki ahlak yang baik. Hendaknya seorang mukmin menentukan batas antara baik dan buruk, antara yang terpuji dan yang tercela tentang perkataan dan perbuatan manusia lahir dan batin, serta mencari  ilmu pengetahuan yang memberikan pengertian tentang baik dan buruk yang mengajarkan pergaulan manusia. Sebagaimana yang Allah ajarkan dalam Al-Qur’an.
1.       Perintah untuk melakukan ishlâh jika ada pertikaian antara dua kelompok mukmin.
2.       Perintah memerangi orang-orang yang mengingkari janji damai sampai surut kembali ke-jalan (perintah) Allah.
3.       Perintah untuk melakukan ishlâh secara adil seadil-adilnya.
4.       Penegasan bahwa mukmin itu adalah satu kesatuan ummat.
5.       Memperbaiki hubungan di antara sesama, karena mukmin itu bersaudara.




BAB III
KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa QS. Al-Hujurat ayat 9-10 tersebut menerangkan tentang perintah mendamaikan dua pihak yang saling bertikai dan pentingnya persaudaraan antar mukmin.
Ibrah yang disampaikan dalam dua ayat tersebut antara lain:
1.       Perintah untuk melakukan ishlâh jika ada pertikaian antara dua kelompok mukmin.
2.       Perintah memerangi orang-orang yang mengingkari janji damai sampai surut kembali ke jalan (perintah) Allah.
3.       Perintah untuk melakukan ishlâh secara adil seadil-adilnya.
4.       Penegasan bahwa mukmin itu adalah satu kesatuan ummat.
5.       Memperbaiki hubungan di antara sesama, karena mukmin itu bersaudara.




[1][1] Muqbil bin Hadi, Shohih Asbabun-Nuzul, Meccah: Depok, hlm.387
[2][2] Abdul Halim Hasan, Tafsir Ahkam, Kencana: Jakarta, 2006, cetakan ke-1, hlm.568
[3][3] Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir an-Nur, Pustaka Rizki Putra: Semarang, 2000, jilid 5, hlm.3919
[4][4] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Volume 13, Lentera Hati: Jakarta, 2007, cetakan ke VIII, hlm.248
[5][5] Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir an-Nur, Pustaka Rizki Putra: Semarang, 2000, jilid 5, hlm.3919